damarinfo.com – Di awal abad ke-20, Bojonegoro bukan sekadar wilayah agraris di pinggiran Bengawan Solo. Di balik sawah dan hutan jati, desa-desa hidup dalam ketakutan. Bukan karena perang, tetapi karena teror para perampok bersenjata. Di antara mereka, satu nama paling ditakuti: Mertopatie.
Jejak Kelam di Tanah Bojonegoro
Ini bukan kali pertama Bojonegoro berhadapan dengan perampok legendaris. Seperempat abad sebelumnya, dua bersaudara — Hirodikromo dan Soemodikromo — menjadi momok bagi rakyat. Berbekal senapan, tombak, dan lompatan tak terduga, mereka memimpin gerombolan yang menjarah desa-desa, menantang priyayi, dan bahkan membuat aparat kolonial tak berkutik.
Mas Dhonoadiwidjojo, Wedono Temajang yang dikenal tegas, akhirnya berhasil menumpas mereka di hutan Dander. Dengan siasat jitu, ia mengepung dan menangkap seluruh kelompok itu. Bojonegoro pun sempat tenang — tapi hanya sementara.
Mertopatie dan Torko: Teror Baru yang Muncul dari Hutan
Dekade berganti, nama Mertopatie dan Torko naik ke permukaan. Mereka bukan hanya meneruskan jejak Hirodikromo, tetapi membawa teror ke level baru. Ketjoe (pemerkosaan), kampak (perampokan), dan pembunuhan menjadi bayangan kelam yang mengintai di desa-desa Ngumpak, Padangan, dan bahkan Tuban.
Keberanian mereka tak tertandingi. Mereka bahkan berani beraksi di wilayah yang dulu dikenal aman. Akhirnya, pemerintah kolonial menawarkan hadiah 200 gulden bagi siapa saja yang bisa menangkap keduanya — persis seperti ketika memburu Hirodikromo dan Soemodikromo dulu.
Jerat yang Dipasang Sang Patih
Tahu bahwa pertempuran langsung hanya akan sia-sia, Patih Bojonegoro memilih jalan lain: perangkap. Ia mengutus dua orang kepercayaannya — yang dikenal akrab dengan Mertopatie — untuk memancing sang perampok keluar dari persembunyian di hutan Dander.
Misi mereka jelas: bawa Mertopatie ke Bojonegoro dengan iming-iming perampokan besar.
Di desa Napis, mereka menemukan Mertopatie yang sedang sial — baru saja kalah judi 60 gulden. Saat itulah bujuk rayu dilancarkan:
“Kenapa murung? Ada target besar. Kita bisa kaya dalam semalam.”
Targetnya? Haji Abdoeldjabar dari Kauman, yang baru saja menerima 6.000 gulden sebagai ganti rugi lahan dari perusahaan kereta api.
Tempat Bernama ‘Wonogiri’ — Persinggahan Menuju Perangkap
Malam itu, mereka bermalam di sebuah tempat yang dalam catatan kolonial disebut ‘Wonogiri’. Tidak jelas di mana letaknya sekarang — mungkin sebuah dusun kecil atau nama lokal di sekitar Dander yang kini tak lagi dikenal secara resmi. Di sana, mereka menyusun rencana matang untuk aksi perampokan.
Mertopatie, yang terkenal sombong, bahkan sempat berpidato soal pentingnya kerjasama dalam kelompok, agar tak terulang insiden Ngrajoeng, saat salah satu anak buahnya tewas karena kurangnya koordinasi.
Saat Jerat Mengunci di Warung Banjarsari
Subuh berikutnya, mereka menyusuri jalan-jalan kecil ke Padangan, lalu naik trem menuju Bojonegoro. Di sana, mereka berpura-pura mengintai rumah Haji Abdoeldjabar, lalu menuju sebuah warung di dekat penyeberangan Banjarsari — tempat yang disepakati menjadi titik temu dengan “anggota baru”.
Yang Mertopatie tidak tahu, warung itu sudah dikunci oleh skenario yang dirancang Patih. Salah satu utusan menyelinap keluar, memberi tahu Patih Bojonegoro, yang langsung memimpin operasi pengepungan.
Pada 17 Februari 1903, Mertopatie ditangkap hidup-hidup, tanpa sempat melawan. Di tasnya ditemukan sepasang anting emas, sebuah bros, dan sebuah primbon — kitab ramalan untuk memilih hari baik merampok.
Torko Tak Lepas dari Jerat
Hanya berselang beberapa hari, giliran Wedono Ngumpak yang mengulangi siasat serupa. Dengan kecerdikan yang sama, Torko berhasil dijebak dan akhirnya ditangkap.
Keduanya dijebloskan ke penjara Bojonegoro, menandai berakhirnya babak panjang teror di wilayah ini.
Kemenangan Rakyat, Peringatan untuk Penguasa
Bojonegoro bersorak. Teror yang mencekam selama berbulan-bulan akhirnya tamat. Pemerintah segera memberikan hadiah kepada Patih dan Wedono, sebagai bentuk penghargaan atas keberanian dan kecerdikan mereka.
Namun di balik kegembiraan itu, ada catatan serius. Seperti dicatat oleh De Locomotief, lemahnya sistem keamanan di beberapa wilayah, terutama di Padangan, menjadi penyebab suburnya kejahatan. Banyak warga takut melapor, aparat lamban bertindak, dan ketakutan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Sejarah yang Tak Pernah Boleh Terulang
Hari ini, Bojonegoro hidup dalam suasana yang jauh berbeda. Keamanan terjaga, dan cerita tentang ketjoe dan kampak tinggal kenangan masa kolonial. Namun, kisah tentang Mertopatie dan para perampok terdahulu tetap menjadi cermin — bahwa keamanan dan keadilan tak pernah hadir begitu saja, tapi harus diperjuangkan bersama.
Karena setiap zaman punya tantangan. Dan setiap masyarakat punya cerita yang tak boleh dilupakan.
Penulis : Syafik
Sumber : Koran De Locomotief edisi 6-3-1903. Diterjemahkan dengan chatgpt.com