(Berdasarkan catatan Belanda dalam “De Javaansche Geestenwereld” (1906))
Malam turun di Tanah Jawa. Hening desa-desa pecah oleh suara jangkrik, sementara lampu minyak berkelip di rumah-rumah kayu. Namun, ada sudut-sudut di mana kesunyian terasa lebih pekat—tanah seakan bernafas bersama roh leluhur. Di sanalah makam-makam kramat berdiri.
Seorang penulis Belanda pada tahun 1906 mencatat semuanya sebagai kenyataan hidup orang Jawa. Ia menyebut nama, menyusun peta desa, lalu menuliskan kisah gaib di balik setiap makam kramat. Kini, mari kita menapaki jejaknya.
Pacitan: Di Antara Bukit dan Kutukan
Pertama-tama, kita menuju Pacitan, desa Nglaran. Warga Nglaran menyebut pusara Raden Panji Sandjaja Ngrangin sebagai makam kramat. Setiap malam, mereka membawa bunga dan sesaji, menyalakan kemenyan, serta memohon hajat seolah tanah di sana mampu mendengar.
Selanjutnya, kita mendaki Bukit Ngredjeng. Orang desa bercerita: “Di sinilah jasad makhluk gaib itu bersemayam.” Ia menjelma menjadi manusia demi membalas kebaikan Kasuwara dan istrinya. Karena itu, para pencari harapan meniti jalur tanah, menaruh sesaji, lalu berbisik doa di bawah pohon tua.
Di sisi lain, di balik desa Kalak, berdiri makam Raja Brawijaya dari Majapahit. Warga setempat memuja sang raja dengan bunga dan dupa. Bahkan, angin malam kerap membawa sisa aromanya—seakan roh Majapahit belum pergi sepenuhnya.
Namun, tidak semua pusara menghadirkan teduh. Di desa Tanjung-Kidul, sebuah masjid tua menyimpan makam berbentuk kepek—kotak kayu dengan tutup longgar. Tak seorang pun berani menyentuhnya. Warga memperingatkan: “Siapa pun yang nekat membuka tutup itu bisa mati mendadak atau hilang akal.”
Tak hanya itu, di perbatasan Tak-Wi dan Tinatar, Bok Lara Menir—seorang perempuan dengan sumpah kutukan—menjadi legenda. Ia melarang priyayi menapaki bukitnya. Akibatnya, para bangsawan memilih memutar jalan; sementara itu, rakyat kecil tetap datang, menyalakan dupa, serta berdoa di bawah cahaya bulan.

Tuban: Putri Tjempa dan Sunan yang Bergaung
Beranjak ke utara, kita tiba di Tuban, desa Bedjagoeng. Warga menyapa pusara Pangeran dari Tjempa—Sunan Bedjagoeng—dengan hormat. Di dekatnya, sebuah sumur batu menganga; kisah setempat menyebut sang pangeran menggali sendiri sumur sedalam 75 kaki. Ketika angin lewat, lubang itu berdesis lirih, seolah masih menyimpan tenaga gaib.
Kemudian, kita singgah di makam Sunan Bonang. Peziarah memadati pelataran, doa berdesakan di udara, dan asap dupa melayang. Orang-orang percaya: siapa pun yang datang dengan hati palsu, tanah di sana menolak kehadirannya.
Salatiga dan Banyumas: Desa yang Dijaga Roh
Naik lagi, kita mencapai Bukit Tembajat dekat Salatiga. Warga setempat mengeramatkan pusara Pandan A’ang—Pangeran Tembajat—dan Nyai Pandan Arang. Setiap saat, peziarah menata sesaji, menabur bunga, lalu berbisik: “Mereka bukan manusia biasa; mereka titisan dari dunia lain.”
Sementara itu, di Banyumas, Somawangi menyimpan aura misteri. Di sana, Kiai Ketasinga dan Nyai Ageng Jokul bersemayam. Setiap malam Jumat Legi, peziarah memadati desa. Namun, aturan adat berdiri tegas: warga melarang priyayi dan orang Eropa masuk. Konsekuensinya, siapa pun yang melanggar dianggap menantang bahaya. Hingga kini, Somawangi tetap menjadi wilayah suci yang kekuasaan duniawi enggan sentuh.
Cirebon dan Jawa Timur: Wali yang Tak Pernah Mati
Berikutnya, kita menuju Cirebon. Di sana, Sunan Gunung Jati beristirahat. Orang-orang datang dari jauh, menabur bunga, menyalakan dupa, serta membentangkan kain putih. Konon, kebohongan di hadapan pusara beliau akan berbalik menjadi hukuman.
Lalu, perjalanan bergerak ke Gresik. Peziarah menghormati Maulana Malik Ibrahim; doa tak pernah putus. Di Surabaya, Sunan Ampel menyambut peziarah dalam arus kota dagang yang sibuk. Meski begitu, orang tetap mencari ketenangan, wisata religi, dan jawaban di halaman makam.
Akhirnya, nama-nama besar lain—Sunan Kalijaga, Sunan Rat, Sunan Bonang—menggema di telinga peziarah. Bagi orang Jawa, para wali bukan sekadar tokoh sejarah; mereka penjaga tanah yang masih mendengar doa dan menjawab dengan cara mereka sendiri.
Di Balik Batu, Ada Suara
Catatan Belanda tahun 1906 mungkin hanya berupa daftar. Namun, bagi orang Jawa, daftar itu berubah menjadi peta dunia tak terlihat. Pada akhirnya, di balik setiap batu nisan, di bawah beringin tua, serta di antara asap kemenyan, selalu terdengar bisikan:
“Aku masih di sini. Jangan datang dengan hati palsu. Berdoalah dengan tulus, dan aku akan mendengar.”
Penulis: Syafik
Sumber Artikel: Van Hien, H. A. (1906). De Javaansche Geestenwereld en de Betrekking, die tusschen de Geesten en de Zinnelijke Wereld Bestaat. Verhandeld door Petangan’s of Tellingen, bij de Javanen en Soendanezen in gebruik. IV. De Tengeran’s.