damarinfo.com – Di awal abad ke-20, ketika Bojonegoro masih menjadi bagian dari Karesidenan Rembang, wilayah ini nyaris tak dikenal dalam peta misi zending di Jawa. Letaknya terpencil, tertutup hutan jati dan ladang-ladang kering. Tapi pada suatu hari di akhir Maret 1903, datang seorang tamu yang membawa lebih dari sekadar pesan agama—ia membawa pendidikan, pengobatan, dan harapan.
Namanya br. Barth, seorang misionaris Belanda. Dan 31 Maret 1903, menjadi titik mula masuknya ajaran Kristen ke Bojonegoro. Sebuah hari yang kelak dicatat sebagai bab pertama dari kisah zending di pedalaman Jawa.
Injil Diberitakan, Tapi Tak Sekadar Dikatakan
Br. Barth tidak datang dengan bala bantuan atau logistik besar. Ia hanya meminjam seorang pembantu lokal dari rekannya, br. van Engelen, untuk membantunya selama sepuluh hari. Tapi dalam waktu yang singkat itu, benih pelayanan mulai tumbuh.
Setelah tiga bulan, ia mengajak Johannes dari Kalitjérèt sebagai guru, serta Yusuf, ayah Johannes, untuk membantunya. Mereka memulai pelayanan kecil—tanpa gedung mewah, tanpa struktur organisasi—hanya keyakinan bahwa iman yang tulus bisa mengakar bahkan di tanah yang asing.

Menyentuh Hati dengan Pendidikan dan Pengobatan
Zending ini tidak hanya berbicara di mimbar. Br. Barth paham, masyarakat Jawa lebih mudah disentuh lewat perbuatan nyata. Maka ia mendirikan sekolah dan sekolah menjahit, sekaligus memberikan layanan kesehatan gratis kepada warga.
Hasilnya tak mengecewakan. Dalam waktu kurang dari setahun, sekitar 70 orang mulai rutin mengikuti ibadah. Tak hanya warga sipil, para tentara pun ikut hadir. Ini mendorong Barth membangun gereja permanen, yang akhirnya diresmikan pada 10 Desember 1905. Ia juga membangun rumah guru dan tempat tinggal keluarganya, menegaskan bahwa zending ini bukan sekadar singgah, tetapi berakar.
Bertumbuh ke Tjéngkong dan Ngringin
Pelayanan pun meluas. Pada Hari Natal 1 Januari 1906, Barth membuka jemaat baru di Tjéngkong, sebuah desa yang berjarak tiga jam perjalanan dari Bojonegoro. Di sisi lain, istrinya (zr. Barth) membuka sekolah khusus putri Jawa, menyasar kalangan menengah yang sebelumnya tak tersentuh pendidikan formal.
Pada 1907, balai pengobatan baru didirikan. Tapi pada 1909, pasangan Barth harus kembali ke Eropa. Pelayanan dilanjutkan oleh pasangan Schlipköter, yang menghadapi tantangan baru: ekonomi sulit, keterbatasan dana, dan aturan ketat pemerintah kolonial.

Statistik yang Bersuara
Dalam buku berjudul Overzicht van het ontstaan en de ontwikkeling der Salatiga-zending (1911), dicatat bahwa pada tahun 1910, jemaat di wilayah Bojonegoro terdiri dari:
-
69 orang yang telah dibaptis,
-
58 orang rutin mengikuti ibadah,
-
serta pelayanan yang mencakup wilayah Bodjonegóro, Tjéngkong, Ngringin, dan dusun-dusun sekitarnya seperti Mori dan Koetsie.
Pemerintah Hindia Belanda membatasi jumlah murid di sekolah swasta hanya 40 orang, tetapi masyarakat dari etnis Jawa dan Tionghoa tetap antusias, terutama untuk belajar bahasa Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa zending bukan hanya kegiatan rohani, tapi juga menjadi jalur mobilitas sosial.
Pengabdian di Tengah Keterbatasan
Di Bojonegoro, br. Schlipköter merawat dua pasien rawat inap dan lima pasien rawat jalan setiap hari, dibantu oleh seorang asisten bernama Jotam. Di Tjéngkong, pelayanan kesehatan dilakukan oleh seorang Kristen pribumi lansia, yang sekaligus menyampaikan Firman Tuhan.
Zr. Schlipköter tetap aktif mengajar kerajinan tangan kepada anak-anak perempuan, tanpa membedakan latar belakang etnis. Semua ini menegaskan satu hal: pelayanan zending berakar pada kasih dan kerja nyata, bukan sekadar konversi semata.
Warisan yang Tak Terhapus Zaman
Sejak 31 Maret 1903, Injil tidak hanya diberitakan di Bojonegoro—ia juga diwujudkan dalam sekolah, balai pengobatan, rumah ibadah, dan tindakan kasih. Dalam senyap, ia tumbuh melintasi batas sosial, budaya, bahkan kekuasaan kolonial.
Hari ini, mungkin tak banyak yang tahu kisah para misionaris seperti Barth dan Schlipköter. Tapi gereja-gereja tua, lagu-lagu pujian dalam bahasa Jawa, serta jejak pendidikan swasta di Bojonegoro menjadi saksi bahwa kabar baik pernah datang dan terus hidup.
Penulis: Syafik
Sumber utama:
Overzicht van het ontstaan en de ontwikkeling der Salatiga-zending, 1911, hlm. 34