Membaca Ulang PKI: Apa Kata Media Asing tentang Gerakan Rakyat Indonesia?

oleh 80 Dilihat
oleh
(Para pemuda Muslim pengunjuk rasa pada hari Jumat (1-10-1965) membakar markas besar Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jakarta. Sebuah kantor komite PKI di belakang markas besar itu dihancurkan. Para demonstran dengan bangga memperlihatkan sebuah bendera merah yang berhasil direbut.)

Melihat Indonesia Lewat Mata Asing

Tanggal 1 -Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila, sebuah simbol keberhasilan militer dalam menumpas gerakan yang dilakukan oleh kelompok militer di bawah komando Letkol oentoeng pada 30-September -1965. Selanjutnya gerakan yang mengorbankan pahlawan revolusi ini “dinarasikan” sebagai sebuah gerakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonenesia (PKI).

Bagaimana perjalanan partai ini dalam sejarah bangsa indonesia? mari kita telusuri jejak-jejak catatan koran-koran dari Eropa yang terbit bersamaan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa bersejarah di Indonesia.

Selama puluhan tahun, rezim Orde Baru mengendalikan narasi tentang Partai Komunis Indonesia. Masyarakat belajar bahwa PKI adalah organisasi ateis yang muncul tiba-tiba pada 1965 untuk melakukan kudeta keji. Namun, ketika kita membuka arsip media asing dari masa kolonial hingga era kemerdekaan, gambaran yang muncul sangat berbeda.

Koran-koran Eropa seperti De Preangerbode, Algemeen Indisch Dagblad, De Locomotief, dan De Waarheid mencatat peristiwa secara faktual, tanpa kepentingan politik langsung di Indonesia. Dokumen-dokumen ini menunjukkan bahwa PKI bukan entitas gelap yang lahir dari ambisi Moskow, melainkan gerakan rakyat yang tumbuh dari akar perjuangan nasionalisme, agama, dan keadilan sosial.

Jejaknya dimulai dari pecahan Sarekat Islam, dipilih rakyat dalam pemilu demokratis, dan bahkan dihormati oleh lawan politiknya. Artikel ini melacak evolusi panjang PKI melalui mata jurnalis dan diplomat asing — bukan sebagai propaganda, tapi sebagai catatan sejarah yang masih bisa dibaca kembali hari ini.

Akar Islam: PKI dari Rahim Sarekat Islam

Partai Komunis Indonesia tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari perpecahan internal Sarekat Islam, organisasi massa Muslim terbesar di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Awalnya fokus pada ekonomi pribumi, Sarekat Islam berkembang menjadi gerakan anti-kolonial yang luas.

Pada awal 1920-an, organisasi ini terbelah. Sayap moderat yang dipimpin HOS Tjokroaminoto menginginkan reformasi damai. Sayap radikal, yang dipimpin Semaun dan Darsono, menuntut perjuangan kelas dan aliansi internasional melawan kapitalisme kolonial.

Baca Juga :   10 Masjid Tertua di Indonesia. Di Kota Mana Saja?

Pada 1924, sayap radikal ini mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan bergabung dengan Komintern. Meskipun berideologi Marxis, banyak anggotanya tetap menjaga identitas keislaman. Mereka tidak meninggalkan masjid, tidak menolak tradisi, dan sering menggunakan bahasa agama untuk menyampaikan pesan keadilan.

Laporan Algemeen Indisch Dagblad pada 12 Maret 1925 mencatat bahwa anggota sayap kiri Sarekat Islam tetap berkhotbah di masjid dan mengadakan pertemuan setelah salat Jumat. Perpecahan ini bukan soal keyakinan, melainkan strategi: apakah perjuangan harus dilakukan melalui kerja sama atau konfrontasi struktural terhadap penjajah.

Semaun & Darsono: Pelopor Politik Rakyat Modern

Semaun dan Darsono bukan sekadar tokoh radikal. Mereka adalah pelopor pertama politik rakyat modern di Indonesia. Semaun, mantan mantri kereta api, menjadi salah satu delegasi Asia pertama yang diundang ke Moskow pada 1920. Ia bertemu Lenin, yang menyambut perjuangannya sebagai bagian dari revolusi anti-imperialisme global.

Darsono, jurnalis dan orator ulung, memperkenalkan konsep solidaritas kelas lintas etnis dan agama. Ia menggunakan surat kabar untuk menyebarkan kesadaran politik kepada buruh dan petani. Bersama-sama, mereka mengembangkan Sarekat Islam menjadi Sarekat Rakyat, organisasi buruh dan petani yang terstruktur dan terorganisir.

PKI di bawah kepemimpinan mereka bukan gerombolan, melainkan partai modern pertama di Indonesia. Ia memiliki komite pusat, cabang daerah, surat kabar harian seperti Api dan Suluh Merah, serta sekolah kader untuk rakyat jelata. Aksi mogok kereta api pada 1923 diatur secara sistematis oleh Sarekat Rakyat, menunjukkan tingkat koordinasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Aliansi dengan Komintern bukan pengkhianatan terhadap bangsa, melainkan strategi kelangsungan hidup. Di tengah isolasi diplomasi, hanya Moskow yang mendukung dekolonisasi. Seperti Sukarno yang memanfaatkan Jepang, Semaun memanfaatkan Moskow untuk memperkuat posisi rakyat Indonesia.

(Potongan Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 29-12-1926. diunduh dari delpher.nl)

Dibuang ke Boven Digoel: Represi Kolonial terhadap Perlawanan Rakyat

Efektivitas PKI membuat pihak kolonial merasa terancam. Setelah pemberontakan 1926 gagal, Belanda melancarkan represi besar-besaran. Ribuan aktivis ditangkap, partai dilarang, dan puluhan tokoh utama dibuang ke Boven Digoel, kamp eksil di Papua yang terpencil dan mematikan.

Baca Juga :   Mentjari Indonesia Pramuka sudah Ada Sejak Jaman Penjajahan Belanda

Laporan De Locomotief pada 17 Maret 1927 mencantumkan nama-nama yang dikirim ke sana: buruh kereta api, petani, pedagang kecil, mantan ketua serikat, dan propagandis PKI dari Blora, Bojonegoro, dan Cepu. Salah satunya adalah Prijokusumo, seorang pensiunan berusia 82 tahun yang pernah memimpin serikat pegawai kereta api.

Arsip polisi kolonial secara terbuka menyatakan bahwa komunisme di Indonesia bukan teori, melainkan ancaman praktis bagi stabilitas ekonomi Kerajaan. Artinya, PKI tidak ditakuti karena ideologinya, melainkan karena kemampuannya menyatukan buruh, petani, dan santri dalam satu gerakan rakyat yang terorganisir.

Pembuangan ke Boven Digoel bukan akhir, tapi babak baru dari perlawanan. Bahkan dari tempat terpencil itu, para tahanan tetap mengajar, membaca, dan menjaga semangat perjuangan.

Wajah Islami Para Tokoh Kiri: Tan Malaka, Alimin, Musso

Banyak tokoh PKI justru berasal dari latar belakang pesantren atau keluarga santri. Mereka tidak menolak agama, melainkan menggunakannya sebagai alat kritik sosial. Tan Malaka, lahir di Minang dan dididik di pesantren, menolak Marxisme ateistik murni. Ia menciptakan konsep “Madilog” — gabungan materialisme, dialektika, dan logika lokal — yang tetap menghargai nilai-nilai kebangsaan.

Alimin, mantan anggota Sarekat Islam, dikenal sebagai orator karismatik. Dalam pidatonya di Jawa Timur pada 1948, ia mengutip Surah Al-Baqarah ayat 188: “Janganlah kamu saling memakan harta sesama dengan jalan yang batil,” untuk menyerang tuan tanah feodal. Laporan The Straits Times mencatat bahwa banyak santri hadir dalam pertemuan tersebut.

Musso, yang pernah tinggal di Moskow, tetap menjaga hubungan dengan tokoh NU. Ia percaya bahwa perjuangan kemerdekaan harus melibatkan semua golongan, termasuk umat Islam. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa PKI bukan homogen. Banyak kader menggunakan bahasa agama untuk menyampaikan pesan keadilan sosial.

(Tangkapan layar potongan koran
De waarheid, edisi 13-8-1957. diunduh dari delpher.nl)