DamarInfo.com – Di sebuah desa di Bojonegoro yakni Desa Mojoranu pepohonan tua menaungi makam R.T. Hario Matahun I. Warga mengenalnya sebagai Bupati Rajekwesi yang gugur dalam tugas pada tahun 1740 — sosok setia hingga akhir hayatnya.
Nama Matahun tidak berdiri sendiri. Dalam catatan Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Bojonegoro, namanya selalu muncul bersama Ki Wirosentiko, dua pemimpin penting di masa awal pembentukan wilayah Jipang — cikal bakal Bojonegoro hari ini.
“Ki Wirosentiko (R. Tumenggung Surowidjojo) menjabat sebagai Bupati Jipang dari 1705 hingga 1718. Ia digantikan oleh R. Tumenggung Hario Matahun I, yang memimpin dari 1718 hingga 1741.”
Catatan ini menjadi bagian dari sejarah lokal Bojonegoro: kisah tentang kesetiaan, kepemimpinan, dan perjuangan mempertahankan wilayah. Namun, sumber lain dari luar negeri mengungkap kisah menarik yang memperluas pandangan kita tentang dua nama ini.
Jejak dalam Babad Tanah Djawi
Sebuah buku berbahasa Belanda terbit di Den Haag tahun 1941 berjudul Babad Tanah Djawi, in Proza, Javaansche geschiedenis loopende tot het jaar 1647 der Javaansche jaartelling. Buku ini berisi terjemahan akademis naskah Jawa kuno oleh W.L. Olthof atas nama KITLV, lembaga riset terkemuka di bidang sejarah Hindia Belanda.
Dalam bab tertentu, muncul dua nama yang sangat mirip: Ki Wira-Sentika dan Ki Sangka. Tercatat bahwa Ki Wira-Sentika memperoleh wilayah Jipang sebagai hadiah dari raja dan dianugerahi gelar Tumenggung Sura-Widjaja.
“’s Maandags kwam de vorst naar buiten om audiëntie te verleenen en verhoogde ki Wira-Sentika in rang, die met het rijk Djipang beloond werd en aan wien de naam toemenggoeng Soera-Widja ja ja werd verleend…”
(Pada hari Senin, raja keluar untuk memberi audiensi dan meninggikan pangkat Ki Wira-Sentika, yang diberi wilayah Jipang sebagai hadiah, serta dianugerahi gelar Toemenggoeng Soera-Widjaja…)
Dan tak lama kemudian, disebut pula:
“…aan den patih van Djipang, ki Sangka, aan wien Djipang als belooning werd gegeven, en wien de titel toemenggoeng Mataoen werd verleend, omdat Sangka panakawan van den vorst was geweest…”
(…kepada patih Jipang, Ki Sangka, yang diberi Jipang sebagai penghargaan, serta dianugerahi gelar Toemenggoeng Mataoen, karena Ki Sangka pernah menjadi panakawan sang raja…)
Yang mengejutkan, peristiwa itu terjadi sebelum tahun 1647 — puluhan tahun sebelum Wirosentiko dan Matahun tercatat dalam arsip Bojonegoro.

Antara Arsip dan Babad
Dua sumber sejarah ini berbicara dengan bahasa berbeda. Catatan Dinas Perpustakaan Bojonegoro menggambarkan sejarah secara linear dan administratif: siapa memimpin kapan dan bagaimana wilayah berkembang. Sementara Babad Tanah Djawi menyajikan kisah secara naratif dan simbolik, berhenti pada tahun 1647 tanpa menjelaskan kelanjutan waktu berikutnya.
Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Arsip menunjukkan kesinambungan birokrasi, sedangkan babad menyimpan memori budaya. Ketika keduanya dibaca bersama, kita bisa melihat benang merah sejarah Bojonegoro secara lebih utuh.
Memori yang Tak Pernah Hilang
Bojonegoro hari ini tumbuh dari lapisan cerita yang panjang — dari arsip kolonial, babad kerajaan, hingga kisah lisan masyarakat. Nama Wirosentiko dan Matahun bukan sekadar sebutan, melainkan jejak nilai dan keberanian yang diwariskan turun-temurun.
Mungkin benar bahwa Ki Wirosentiko tahun 1705 bukanlah Ki Wira-Sentika dari abad ke-17.
Mungkin juga R.T. Hario Matahun I hanyalah penerus semangat Ki Sangka dari masa lalu.
Namun, hal itu tidak mengurangi makna pengorbanan mereka. Makam di Mojoranu tetap menjadi simbol penghormatan. Dan selama nama-nama itu disebut, kisahnya tidak akan pernah hilang.
Dua Sumber, Satu Akar
Kita tidak harus memilih antara arsip dan babad. Keduanya menuturkan cara berbeda untuk memahami masa lalu:
arsip berbicara lewat dokumen, babad lewat memori dan makna.
Dari Babad Tanah Djawi, kita tahu Jipang telah eksis sejak abad ke-17, dipimpin oleh Wira-Sentika dan Sangka.
Dari arsip Bojonegoro, kita melihat nama Wirosentiko dan Matahun tetap hidup hingga abad ke-18.
Keduanya benar dalam konteksnya masing-masing. Dan di antara dua cerita itu, Bojonegoro menulis sejarahnya sendiri — bukan dengan satu warna tinta, tetapi dengan banyak suara dari masa ke masa.
Penulis : Syafik
Sumber:
-
Olthof, W.L. (1941). Babad Tanah Djawi, in Proza, Javaansche geschiedenis loopende tot het jaar 1647 der Javaansche jaartelling. Den Haag: M. Nijhoff.
-
Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Bojonegoro.
-
KITLV (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies).