Kemiskinan di Tanah Kering Bojonegoro
damarinfo.com – Cerita Kemiskinan Bojonegoro memang sudah terjadi sejak dulu. Pada awal abad ke-20, Bojonegoro bukan dikenal karena kemakmurannya, melainkan karena kemiskinannya. Di bawah kekuasaan kolonial Belanda, daerah ini digambarkan sebagai wilayah kering dan tandus, di mana petani hidup pas-pasan, bergantung sepenuhnya pada air hujan.
Setiap musim kemarau datang, sawah berubah menjadi padang retak, dan harapan panen seolah ikut mengering. Dalam situasi itu, air bukan sekadar sumber kehidupan — tetapi simbol perjuangan panjang untuk keluar dari kemiskinan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Banyak Sawah, Sedikit Air
Menurut laporan Soerabaijasch Handelsblad edisi 19 Juli 1937, Bojonegoro menjadi salah satu daerah paling membutuhkan perhatian di Jawa Timur setelah Madura. Alasannya jelas: tanah yang keras, kekurangan air, dan belum tersentuh pembangunan irigasi.
Pada 1930-an, Bojonegoro memiliki sekitar 600 ribu bau tanah, setara dengan ±430 ribu hektare. Separuhnya merupakan lahan sawah, sementara sisanya berupa tegalan dan hutan jati. Namun dari seluruh lahan itu, hanya sebagian kecil yang mendapat irigasi teknis. Di Bojonegoro, hanya 20.800 bau dari 102.700 bau sawah (sekitar 15 ribu hektare) yang terairi dengan baik. Di Lamongan, kondisinya bahkan lebih buruk.
Akibat kekurangan air, hasil panen padi di Bojonegoro tertinggal jauh. Pada tahun 1936, luas sawah Bojonegoro mencapai 214 ribu hektare, tetapi hasil padinya 43 juta kilogram lebih sedikit — atau 43 ribu ton — dibandingkan Madiun yang memiliki lahan lebih sempit. Rata-rata panen padi Bojonegoro hanya 1,24 ton per hektare, terendah di Jawa Timur setelah Madura. Sebagai perbandingan, Besuki (kini Banyuwangi) mampu menghasilkan 3,3 ton per hektare.
Kondisi ini makin berat karena hasil jagung dan singkong juga rendah. Padahal di banyak wilayah, kedua tanaman itu menjadi sumber pangan utama masyarakat desa.

Ketertinggalan dan Keterbatasan
Jurnalis Belanda menggambarkan Bojonegoro sebagai wilayah tanpa pabrik, tanpa industri, dan tanpa kehidupan kota. Tak ada kebun besar seperti di Malang, tak ada pelabuhan seperti Surabaya, bahkan industri kecil rakyat pun disebut praktis nihil.
“Kekayaan Bojonegoro harus datang dari tanahnya sendiri,” tulis koran itu.
Ketiadaan sumber penghidupan membuat ekonomi Bojonegoro lemah. Namun koran tersebut menegaskan, solusinya bukan menunggu investasi Barat, melainkan memperkuat pertanian rakyat dengan membangun sistem irigasi, menyediakan pupuk, dan memperluas pendidikan bagi petani.

Patjal: Bendungan Harapan
Dari keterpurukan itu lahirlah proyek besar: Waduk Patjal (Padjal), salah satu tonggak awal sistem irigasi modern di Bojonegoro. Pembangunannya dimulai pada tahun 1927 dan diresmikan tahun 1933 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Koran Belanda menulis dengan nada kagum:
“Setiap pengunjung Waduk Patjal akan terkesan mendalam… Insinyur dari Prancis, Jepang, Amerika, dan India Britania datang untuk mempelajari pembangunannya.”
Waduk ini dirancang oleh Ir. S. Begemann, seorang insinyur muda yang bertugas di Bojonegoro. Ia menutup lembah Sungai Patjal dengan bendungan besar yang membentuk danau buatan dua kali lebih luas dari Danau Ngebel di Ponorogo. Waduk Patjal mampu menampung jutaan meter kubik air dan mengalirkannya melalui saluran utama, jembatan air (aquaduct), dan parit sekunder. Sistem itu menyuburkan 22.600 bau sawah atau sekitar 16 ribu hektare dari Baureno hingga Babat.
“Setiap tambahan 100 bau sawah yang mendapat air berarti peningkatan kemakmuran Bojonegoro hingga 200 persen,” tulis Soerabaijasch Handelsblad dengan optimisme.
Dari Kegagalan ke Keberhasilan
Sebelum proyek Patjal, pemerintah kolonial sempat mencoba proyek besar lain, yakni Solovallei-werken (Pekerjaan Lembah Solo) pada akhir 1800-an. Proyek sepanjang 165 kilometer itu dirancang untuk mengairi lembah Sungai Solo. Namun, proyek tersebut gagal total. Setelah empat tahun berjalan, pembangunan dihentikan dengan kerugian lebih dari 11 juta gulden karena Sungai Solo tak memiliki cukup air.
Kegagalan itu menjadi pelajaran penting. Para insinyur Belanda kemudian beralih ke pendekatan baru: menampung air hujan dan aliran musim barat melalui waduk. Patjal pun menjadi simbol keberhasilan cara pandang baru terhadap pengelolaan air di wilayah tandus.
Eksperimen Pertanian dan Pendidikan Petani
Laporan tahun 1937 itu juga menggambarkan semangat baru di kalangan petani Bojonegoro. Mereka mulai mencoba sistem gogorancah, yaitu menanam padi langsung di antara sisa jagung tanpa pembibitan. Metode ini memungkinkan petani memanen tiga kali dalam setahun: kacang, jagung, lalu padi.
Selain itu, pemerintah kolonial memperkenalkan varietas unggul, pupuk hijau, dan sekolah tani dua tahun bagi anak-anak muda di desa. Program ini terbukti berhasil. Produksi padi meningkat 33 persen, sementara hasil jagung naik hingga 60 persen.
Air dan Kehidupan
Bagi Bojonegoro, air adalah kehidupan. Laporan tahun 1937 itu memperlihatkan bahwa perjuangan mengelola air — yang hingga kini masih menjadi tema besar pembangunan daerah — telah dimulai hampir seabad lalu.
Dari tanah tandus “brandjangan” hingga lahan subur Patjal, Bojonegoro menempuh perjalanan panjang untuk mengubah kekeringan menjadi kemakmuran. Sejarah itu menjadi pengingat bahwa kemajuan tak datang seketika, tetapi dibangun setetes demi setetes — seperti air yang menghidupi sawah dan harapan.
Penulis : Syafik
Sumber: Soerabaijasch Handelsblad, edisi 19 Juli 1937





