Hari Santri: Jejak Resolusi Jihad dan Makna Santri bagi Indonesia Merdeka

oleh 11 Dilihat
oleh
(Santri Pondok Pesantren Roudhotul Muta'allim Sugihwaras Bojonegoro. Foto : Ponpes Roudhotul Muta'alim)

Logo Hari Santri 2025: Semangat Santri dalam Simbol

Damarinfo.com — Rabu, 22 Oktober 2025, bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Santri Nasional. Kali ini, Kementerian Agama meluncurkan logo Hari Santri 2025 yang menampilkan semangat santri: menjaga kemerdekaan dan menyebarkan nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.

Selain menjadi identitas visual, logo itu mencerminkan tekad santri untuk terus berkontribusi pada perdamaian dan kemajuan bangsa. Oleh karena itu, kita perlu memahami akar sejarah yang membentuk semangat itu.

Latar Belakang Penetapan Hari Santri

Pemerintah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Dengan demikian, pemerintah memberi pengakuan formal atas kontribusi santri dan ulama dalam mempertahankan kemerdekaan pasca-Proklamasi.

Lebih jauh, pemerintah memilih tanggal 22 Oktober karena pada hari itu, tahun 1945, KH. Hasyim Asy’ari menyerukan Resolusi Jihad dari Pesantren Tebuireng, Jombang. Dengan kata lain, penetapan tanggal itu menegaskan peran historis kaum santri dalam perjuangan mempertahankan republik.

Sejarah: Dari Proklamasi hingga Resolusi Jihad

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, dunia belum memberi pengakuan terhadap Republik Indonesia. Sementara itu, Belanda berusaha menggambarkan Indonesia sebagai negara boneka Jepang. Pada kondisi tersebut, pasukan Sekutu tiba membawa NICA dan berupaya mengembalikan kekuasaan kolonial.

Karena situasi itu menuntut langkah cepat, Presiden Soekarno mengutus perwakilan untuk meminta arahan KH. Hasyim Asy’ari di Jombang. Soekarno sadar pengaruh kiai itu di kalangan umat luas; oleh sebab itu ia ingin perjuangan mempertahankan kemerdekaan memiliki landasan moral dan hukum agama yang kuat.

Sebagai respons, KH. Hasyim Asy’ari menyatakan, “Sudah terang bagi umat Islam untuk melakukan pembelaan terhadap tanah airnya dari ancaman asing.” Kemudian, pada 17 September 1945, ia mengeluarkan fatwa jihad yang berisi tiga poin utama:

  1. Memerangi penjajah hukumnya fardhu ain bagi setiap Muslim yang mampu.

  2. Pejuang yang gugur dalam perlawanan melawan NICA berhak dihukumi mati syahid.

  3. Siapa pun yang memecah persatuan umat harus dilawan.

Baca Juga :   Camat Kapas : Teladani Semangat Resolusi Jihad dan Sifat Nabi

Fatwa tersebut mendorong para ulama dari Jawa dan Madura berkumpul pada 21–22 Oktober 1945 di kantor PBNU Surabaya. KH. Wahab Chasbullah memimpin pertemuan itu, sedangkan Panglima Laskar Hizbullah KH. Zainul Arifin hadir sebagai tokoh penting. Akhirnya, mereka menghasilkan keputusan monumental: Resolusi Jihad.

KH. Hasyim Asy’ari menutup rapat dengan seruan tegas:

“Pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada. Barang siapa memecah kebulatan umat dan berpihak pada penjajah, maka pancunglah lehernya dengan pedang siapa pun orangnya.”

(Sumber: KH. Hasyim Asy’ari: Pengabdian Seorang Kiai untuk Negeri, Museum Kebangkitan Nasional — Kemendikbud RI, 2017.)

Siapa Itu Santri? Asal, Makna, dan Perspektif Keilmuan

Kata santri memuat ragam makna; namun intinya tetap: tekad belajar dan pengabdian agama. Menurut KBBI, santri adalah orang yang mendalami agama Islam dan beribadah dengan sungguh-sungguh. Selain itu, sejumlah peneliti mengaitkan istilah ini dengan akar bahasa yang lebih tua.

M. Habib Mustopo mengaitkan kata “santri” dengan Sanskerta sastri — yakni orang yang melek huruf. Sebagai pelengkap, C.C. Berg menyebut kemiripan dengan istilah India shastri yang merujuk pada pelajar kitab suci. Dengan demikian, unsur keilmuan tampak kuat dalam tradisi pesantren.

Sementara itu, Karel A. Steenbrink (dikutip Zamakhsyari Dhofier) menyorot kesamaan bentuk pendidikan pesantren dengan tradisi pendidikan Hindu di India—terutama dalam aspek praktik keilmuan yang mendalam. Selain itu, Fajriudin Muttaqin dkk. (2015) merangkum santri sebagai penjaga tiga hal: ketaatan kepada Allah, ketaatan kepada Rasul, dan ketaatan kepada pemimpin.

Baca Juga :   Bupati Bojonegoro: Ikhtiar Hari Santri di Masa Pandemi

Di sisi bahasa Arab, KH. Abdullah Dimyati memberi tafsir simbolis pada huruf kata “santri” — sin, nun, ta’, ro’ — yang mencakup makna menjaga aurat, mewakili ulama, meninggalkan kemaksiatan, dan menjadi pemimpin umat. Sementara itu, KH. M.A. Sahal Mahfudz menegaskan bahwa santri seringkali menutup diri dari hiruk-pikuk dunia untuk fokus menuntut ilmu.

Makna Santri bagi Kehidupan Berbangsa

Secara ringkas, berbagai definisi itu bermuara pada satu nilai: kesungguhan menuntut ilmu dan menjaga nilai keislaman. Oleh karena itu, santri memainkan peran ganda: mereka mengajar di pesantren sekaligus menjaga moral dan kohesi sosial di masyarakat.

Selain itu, peringatan Hari Santri setiap 22 Oktober mendorong kita untuk mengingat kontribusi kaum santri dalam menjaga kemerdekaan dan membangun peradaban. Bahkan kini, semangat Resolusi Jihad hidup kembali dalam bentuk lain: pengabdian di bidang pendidikan, sosial, hingga teknologi.

Dengan demikian, kita dapat menilai santri bukan sekadar label religius, melainkan agen perubahan yang mengawal nilai-nilai kebangsaan.

Santri — Simbol Keteguhan dan Pengabdian

Singkatnya, santri mewakili keteguhan, kemandirian, dan pengabdian bagi bangsa. Dari Resolusi Jihad 1945 hingga aksi-aksi sosial modern, santri terus meneguhkan peran sebagai penjaga nilai dan peradaban. Oleh sebab itu, Hari Santri bukan sekadar mengenang sejarah; ia mengajak generasi kini meneladani semangat perjuangan dan keikhlasan kaum santri.

Penulis : Syafik