Sebuah Kota, Dua Sejarah, Satu Pertanyaan
Tanggal 20 Oktober 1677 kini diperingati sebagai hari lahir Kabupaten Bojonegoro, merujuk pada saat wilayah Djipang dijadikan kadipaten oleh Mataram.
Namun, benarkah itu hari lahir Bojonegoro sebagaimana kita kenal sekarang? Sejarah mencatat bahwa nama “Bodjonegoro” baru muncul lebih dari satu setengah abad kemudian, tepatnya pada 1828, setelah wilayah lama bernama Radjakwessie hancur akibat perang dan ibu kotanya dipindahkan ke Kebo-Gadoong.
Dua tanggal ini menggambarkan dua fase sejarah berbeda: satu sebagai jejak kekuasaan Djipang, yang lainnya sebagai kelahiran identitas baru Bojonegoro — sebuah kota yang lahir dari konflik, aliran sungai, dan keputusan kolonial.
Dari Djipang ke Radjakwessie: Lintasan Kekuasaan Awal
Wilayah Bojonegoro masa kini dulunya merupakan bagian dari Kadipaten Djipang, yang dikenal sebagai tempat bertakhtanya Arya Penangsang, musuh bebuyutan Kesultanan Pajang. Pada 1677, setelah kekuasaan Mataram semakin menguat di kawasan barat laut Jawa, Djipang dijadikan kadipaten resmi sebagai bagian dari upaya stabilisasi politik.
Namun wilayah ini bukanlah Bojonegoro dalam pengertian administratif modern. Setelah berbagai restrukturisasi pemerintahan, kawasan ini berubah menjadi Regentschap Radjakwessie, yang berpusat di Ngoempak-Dalem — ibu kota yang kelak hilang dari peta karena perang besar.
Perang dan Perpindahan: Lahirnya Nama Bojonegoro (1828)
Perang Jawa (1825–1830) menjadi babak kelam bagi Radjakwessie. Ngoempak-Dalem, ibu kota regentschap itu, dihancurkan oleh pertempuran antara pasukan pimpinan Toemenggoeng Sosro Di Logo dan pemerintah kolonial. Kondisi ini memaksa pemerintah Hindia Belanda mencari lokasi baru yang lebih aman dan strategis.
Dua surat keputusan kolonial dari tahun 1828 mencatat tonggak penting ini:
-
Staatsblad No. 8/1828 – Pemindahan Ibu Kota:
“Komisaris Jenderal menyetujui usulan Asisten Residen Rembang untuk memindahkan ibu kota Radjakwessie ke Kebo-Gadoong karena lokasi tersebut lebih strategis dan aman.” -
Staatsblad No. 68/1828 – Perubahan Nama:
“Menyambut baik permohonan Bupati Radjakwessie untuk mengganti nama wilayahnya menjadi Bodjo-Negoro, sebagai bentuk penghargaan atas ‘keramahan’ atau ‘hadiah’ dari wilayah Toeban.”
Kebo-Gadoong dan Sungai yang Mengubah Segalanya
Wilayah Kebo-Gadoong yang menjadi pusat pemerintahan baru memiliki kisah tersendiri. Nama itu diyakini berasal dari seorang tokoh lokal bernama Eyang Bo Gadoong, yang makamnya hingga kini masih terawat di belakang Masjid Agung Bojonegoro.
Yang menarik, perubahan arah aliran Sungai Bengawan Solo secara alami menyebabkan wilayah ini — yang awalnya masuk dalam Regentschap Toeban — tergeser ke seberang sungai, dan dianggap sebagai “hadiah” dari Toeban kepada Radjakwessie. Maka lahirlah nama Bodjo-Negoro, yang secara simbolik berarti “kota keramahan.”
Transisi Wilayah: Dari Rembang ke Jawa Timur
Setelah perpindahan dan perubahan nama, Bojonegoro pada masa itu masih berada di bawah administrasi Residen Rembang, yang merupakan bagian dari Provinsi Jawa Tengah. Baru pada tahun 1929, wilayah ini resmi dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Timur, mengikuti reorganisasi wilayah administratif Hindia Belanda.
Dengan demikian, dalam kurun waktu hampir seabad (1828–1929), Bojonegoro tumbuh sebagai kota perbatasan — secara geografis, budaya, dan politik.
Enam Bupati, Satu Abad Perjalanan
Sejak tahun 1828 hingga 1928, Bojonegoro dipimpin oleh enam orang bupati, dimulai dari R.T. Djojonegoro, sosok penting yang memimpin masa transisi dari Radjakwessie ke Bodjonegoro. Para bupati ini hidup dalam situasi dinamis antara pemerintahan kolonial, krisis agraria, dan modernisasi awal.
Antara Simbol dan Sejarah
Tanggal 20 Oktober 1677 diperingati sebagai Hari Jadi Bojonegoro, berdasarkan jejak Djipang sebagai kadipaten. Namun, jika ditinjau dari kelahiran nama, lokasi, dan entitas administratif “Bojonegoro” sebagaimana kita kenal sekarang, maka tahun 1828-lah titik yang lebih tepat disebut sebagai kelahiran kota ini.
Dua tanggal ini tidak saling bertentangan, tetapi mewakili dua narasi berbeda: satu tentang akar sejarah kekuasaan, dan yang lain tentang kelahiran identitas wilayah modern.
Mungkin sudah saatnya kita tidak hanya merayakan tanggal, tetapi juga memahami cerita di baliknya — bahwa sebuah kota bisa lahir lebih dari sekali, karena sejarah tak pernah diam, dan identitas selalu berproses.
Penulis : Syafik
Sumber artikel : Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië edisi 21-9-1928, diterjemahkan dengan chat.qwen.ai