Bojonegoro-Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyampakian bahwa Peringatan Hari Ibu (PHI) tidak sama dengan Mothers Day. Rujukannya yaitu lahirnya keputusan presiden pertama yang menjadikan tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu.
Demikian release yang dikeluarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindangan Anak menanggapi digelarnya PHI yang jatuh pada Selasa 22-Desember 2020. Menurut Wakil Ketua Panitia Umum Peringatan Hari Ibu Ke-92, Titi Eko Rahayu, pentingnya mengembalikan makna sesungguhnya dari PHI itu sendiri.
Titi Eko menilai, PHI merupakan momentum untuk mengenang semangat para perempuan luar biasa yang turut berjuang menentang penjajah. Khususnya dalam memperjuangkan nasib perempuan dalam mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan menyuarakan pendapat di hadapan publik.
“Peringatan Hari Ibu tahun ini memaknai kembali semangat para perempuan untuk mengambil peran mengisi pembangunan dengan melakukan aksi solidaritas merespon pandemi Covid-19,” ujarnya di acara Dialog dengan Media (Media Talk) dalam rangka Peringatan Hari Ibu Ke-92 dengan tema ‘Hari Ibu Bukan Mother’s Day’.
Keputusan Resmi Pemerintah tentang Peringatan Hari Ibu diterbitkan pada zaman Presiden Soekarno dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959. Tanggal 22 Desember dipiiih merujuk pada pelaksanaan Kongres Perempuan pertama di Indonesia yang digelar 22- 25 Desember 1928.
Perempuan peneliti dari Monash University Australia Susan Blackburn menyebut dalam buku yang dengan judul Konggres Perempuan Pertama –Tinjauan Ulang bahwa Konggres Perempuan I tahun 1928 adalah merupakan tonggak sejarah bagi pergerakan perempuan Indonesia.
Para perempuan pada zaman itu terinspirasi dengan Sumpah Pemuda yang digelar dua bulan sebelumnya yakni tanggal 28 Oktober 1928. Untuk itu para pemudi Indonesia memutuskan untuk menggelar konggres. Konggres pun digelar di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran, milik seorang bangsawan, R.T. Joyodipoero di Jalan Brigjen Katamso , Yogyakarta.
Dalam pengantar buku yang ditulis Susan Blacburn, Atashendartini Koesoemo – Habsyah menyebutkan 1000 lebih orang hadir dalam pembukaan konggres tersebut. Tokoh tokoh pemuda pun hadir dalam pembukaan yang diadakan malam hari itu, termasuk Mr. Singgih dan Dr. Soepomo yang mewakili organiasi Boedi Oetomo, ada juga Mr. Soeryandi dari PNI, dari PSI diwakili oleh Dr. Soekiman.
Dalam konggres tersebut terdapat 15 pembicara yang berasal dari organisasi perempuan yang berbeda, diantaranya Wanita Oetomo, Poetri Indonesia, Aisjijah, Poetri Boedi Sedjati, Wanito Sedjati, Darmo Laksmi, Roekoen Wanodijo, Jong Java, Wanita Moelyo dan Wanita Taman Siswa.
Melalui proses panjang perdebatan dalam konggres tersebut maka diputuskan untuk membentuk organisasi perempuan yang diberi nama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI) dengan Ketua Raden Ayu Soekonto.
Hasil Kongres Perempuan Indonesia I
• Untuk mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan;
• Pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang undang perkawinan); dan segeranya
• Diadakan peraturan yang memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia;
• Memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds;
• Mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberatasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak;
• Mendirikan suatu badan yang menjadi wadah pemufakatan dan musyawarah dari berbagai perkumpulan di Indonesia, yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).
Penulis : Syafik