damarinfo.com – Di bawah langit Jeddah yang membara pada akhir 1911, pelabuhan dipenuhi derap langkah ribuan jemaah, suara doa, dan aroma debu yang bercampur harapan. Itu adalah tahun Haji Akbar, ketika 9 Dzulhijjah, hari Arafah, jatuh pada Jumat, 1 Desember—momen suci yang diyakini membawa pahala tujuh kali lipat.
Seperti yang akan terjadi lagi pada 6 Juni 2025 (1446 H), peristiwa ini menjadi magnet bagi umat Islam, khususnya dari Hindia Belanda—kini Indonesia—yang, sebagaimana dicatat dalam Deli Courant (30 Oktober 1912) dan Buku Oranye 1911/1912, menjadi kelompok jemaah terbanyak sejak zaman kolonial.
Berbulan-bulan sebelumnya, kabar tentang Haji Akbar telah mengguncang kampung-kampung di Jawa dan Melayu. Menurut mazhab Syafi’i, penentuan awal bulan bergantung pada pengamatan bulan sabit, bukan hitungan pasti, menjadikan tanggal Arafah bagai rahasia ilahi.
Tahun sebelumnya, harapan serupa kandas ketika bulan sabit tak muncul tepat waktu. Namun di 1911, keyakinan jemaah terwujud, dan mereka berbondong-bondong berangkat, membawa mimpi akan ibadah yang diberkahi.
Gelombang Manusia di Lautan
Kapal-kapal dari berbagai penjuru merapat di Jeddah, membawa jemaah yang haus akan berkah. Laporan konsul mencatat jumlah mereka yang tiba via laut, meski data 1329 H (1911) diringkas oleh Inspektur Sanitasi Turki dibandingkan 1328 H (1910):
-
Hindia Belanda/Jawa & Melayu: 29.820 vs 19.300
-
India Britania: 22.068 vs 15.097
-
Afghanistan: 1.268 vs 4.553
-
Rusia: 7.371 vs 5.414
-
Mesir: 442 vs 16.540
-
Total: 83.749 vs 90.051
Jemaah Hindia Belanda melonjak, mengungguli India Britania dan Afghanistan, meski jumlah total sedikit menurun akibat perang Turki-Italia yang menghambat jemaah Turki. Namun, mereka yang tiba via kereta api melalui Madinah justru lebih banyak.
Kategori Jawa & Melayu mencakup jemaah Melayu—subjek Britania—dari Malaka yang berangkat via Singapura dan Penang, termasuk 807 orang Belanda dari Hindia yang pernah menetap di Semenanjung Melayu.
Jejak di Paspor dan Debu Jeddah
Di tengah keramaian, konsul memberlakukan aturan baru: jemaah Hindia Belanda harus mengurus paspor Mekkah saat tiba di Jeddah, memudahkan pencatatan kematian, keluhan, dan pengawasan. Sebanyak 1.104 paspor baru diterbitkan—807 untuk yang tanpa paspor, 297 untuk warga Hindia di Mekkah yang menjenguk keluarga atau mengurus perekrutan haji.
Dari total jemaah, 477 anak punya paspor sendiri, 1.235 tercatat di paspor orang tua, dan 5.383 perempuan (22,4%) turut beribadah. Tragisnya, 241 orang meninggal sebelum sampai, dan 1.687 adalah jemaah berulang.
“Orang Jawa” yang Dinantikan
Ketika Mesir menutup pintunya untuk haji—kerugian besar bagi Hijaz—jemaah Jawa menjadi penutup luka. Kategori Jawa & Melayu mendominasi, mengalahkan jumlah jemaah dari wilayah lain. Meski tak sekaya jemaah India atau Turki, setiap jemaah Jawa menghabiskan ratusan gulden di Tanah Suci, pulang hanya dengan pakaian sederhana dan barang kecil penuh makna.
Konsul mencatat, 90% jemaah Hindia adalah rakyat kecil, didorong kewajiban agama atau bujukan, bukan fanatisme, dan pulang tanpa mengusik ketertiban.
Faktor pendorong haji meliputi kebetulan Haji Akbar, kondisi ekonomi yang baik, dan perekrutan massal. Ketersediaan unta mencukupi karena jemaah Jawa tiba lebih awal, memastikan perjalanan ke Mekkah berjalan mulus.
Bayang-Bayang Wabah di Tanah Suci
Namun, di balik kemegahan ibadah, wabah mengintai. Kolera melanda Mekkah sejak September, merenggut 20-30 nyawa per hari, mereda sebentar, lalu kembali ganas pada November. Di Jeddah, kolera mencapai puncak pada Desember, sebelum reda pada Januari. Wabah cacar menyerang jemaah Hindia pada Januari, dengan 30 kematian. Anehnya, wabah pes yang muncul pada 16 Januari di kalangan jemaah India Britania tidak meluas, meski tanpa disinfeksi memadai.
Kepulangan dengan Harapan dan Duka
Haji berlangsung damai, namun banyak jemaah buru-buru pulang, didorong keinginan meninggalkan tanah penuh penderitaan. Setengah dari mereka menunggu 2-3 minggu untuk tiket kapal. Perusahaan pelayaran seperti Ocean, Nederland, dan Rotterdamsche Lloyd menawarkan tiket pulang murah—£2 langsung ke Hindia, £1 ke Singapura tanpa makan—memastikan kepulangan jemaah Hindia lancar, kecuali sedikit yang melalui Bombay atau Suez.
Di bawah langit Jeddah yang kelabu, jemaah Jawa meninggalkan Tanah Suci dengan hati penuh syukur. Mereka, yang telah menjadi kelompok terbanyak sejak zaman kolonial, membawa pulang kenangan Haji Akbar 1911, sebuah perjalanan suci yang penuh cobaan namun abadi dalam jiwa.
Penulis : Syafik
Sumber : (Deli courant edisi , 25-10-1912, diunduh dari delpher.nl, diterjemahkan dengan chat.deepseek.com)