Bojonegoro di Persimpangan Usia dan Penghidupan
Kabupaten Bojonegoro, yang dikenal sebagai lumbung pangan dan penghasil minyak bumi di Jawa Timur, kini menghadapi paradoks demografi. Data 2024 mencatat 410.009 keluarga, dan dari jumlah itu sekitar 50.892 rumah tangga atau 18,6% tergolong miskin.
Di sisi lain, 45,49% kepala keluarga di Bojonegoro berprofesi sebagai petani, menunjukkan betapa besar ketergantungan ekonomi pada pertanian tradisional. Namun di tengah kesetiaan terhadap sawah, kemiskinan tetap berakar kuat — sebuah paradoks antara ketekunan dan keterbatasan.
Ketika Petani Menjadi Cermin Kemiskinan
Pola kemiskinan di Bojonegoro memperlihatkan hubungan yang erat antara persentase petani dan tingkat kemiskinan. Wilayah dengan dominasi petani tinggi cenderung memiliki angka rumah tangga miskin lebih besar. Sebaliknya, kecamatan yang lebih urban dan diversifikasi ekonominya lebih luas menunjukkan kemiskinan yang relatif rendah. Berikut gambaran korelasi keduanya:
No | Kecamatan | % Petani (dari KK) | % RTM 2025 (dari keluarga) | Keterangan Singkat |
---|---|---|---|---|
1 | Sekar | 78,64% | 23,6% | Petani dominan, kemiskinan tinggi |
2 | Gondang | 75,56% | 22,5% | Wilayah agraris, RTM masih besar |
3 | Tambakrejo | 67,77% | 20,7% | Sentra pertanian, kemiskinan menurun perlahan |
4 | Ngasem | 65,44% | 22,6% | Banyak petani, usia KK menua |
5 | Margomulyo | 69,08% | 19,9% | Petani menua, regenerasi lemah |
6 | Kedungadem | 61,57% | 15,8% | Produktivitas meningkat, tapi masih rentan |
7 | Kepohbaru | 53,74% | 9,6% | Transisi menuju ekonomi campuran |
8 | Dander | 42,77% | 10,7% | Suburban, ekonomi mulai beragam |
9 | Sumberejo | 44,19% | 7,8% | Industri kecil tumbuh, RTM turun |
10 | Kapas | 22,9% | 7,5% | Wilayah urban, kemiskinan rendah |
11 | Bojonegoro (kota) | 2,67% | 5,0% | Dominasi non-pertanian, ekonomi variatif |
Catatan: Persentase RTM dihitung dari perbandingan jumlah rumah tangga miskin (Damisda 2025) dengan total keluarga di masing-masing kecamatan.
Tabel di atas memperlihatkan tren yang tegas: kecamatan dengan lebih dari 60% kepala keluarga petani, seperti Sekar, Gondang, dan Tambakrejo, memiliki kemiskinan di atas 20%. Sebaliknya, wilayah urban seperti Bojonegoro kota atau Kapas, dengan proporsi petani di bawah 25%, berhasil menekan kemiskinan di bawah 8%.

Usia Produktif Menyusut, Beban Ketergantungan Naik
Penuaan penduduk menjadi lapisan lain dari persoalan ini. Dari 1,36 juta jiwa penduduk Bojonegoro, sekitar 160.685 jiwa (11,8%) berusia di atas 65 tahun, menandakan penuaan populasi di sektor agraris. Sementara kelompok usia muda (0–14 tahun) hanya 18,6%, menandakan menurunnya kelahiran dan melemahnya regenerasi tenaga kerja muda di desa.
Rasio ketergantungan kini mencapai sekitar 49 penduduk tidak produktif per 100 penduduk produktif, dan mayoritas beban itu ditanggung oleh kepala keluarga yang menua di sektor pertanian. Mereka masih menjadi tulang punggung ekonomi pedesaan, sementara anak-anak mereka banyak yang meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan non-pertanian di kota.
Petani Menua, Desa Menunggu Regenerasi
Jika Bojonegoro diibaratkan ladang luas, maka para petani tua adalah akar yang menjaga tanah tetap hidup, tetapi daunnya mulai meranggas. Kecamatan seperti Tambakrejo, Ngasem, dan Margomulyo memperlihatkan betapa produktivitas pertanian kini bergantung pada kelompok usia 45 tahun ke atas.
Tanpa regenerasi, Bojonegoro menghadapi risiko “sunset agriculture” — pertanian yang perlahan menua bersama pelakunya. Desa menunggu generasi baru yang mau turun ke tanah, tapi daya tarik sektor ini semakin memudar di mata anak muda.
Kemiskinan yang Tumbuh Bersama Usia
Korelasi antara persentase petani dan kemiskinan memperlihatkan hubungan positif yang nyata. Kecamatan dengan banyak petani tua cenderung lebih miskin, bukan karena malas bekerja, tetapi karena terkunci dalam sistem ekonomi tradisional: teknologi terbatas, modal rendah, dan hasil panen yang fluktuatif.
Dari seluruh kabupaten, sekitar 18,6% keluarga masih tergolong miskin — angka yang turun dari tahun tahun sebelumnya, tetapi belum cukup untuk menandakan perubahan struktural. Kemiskinan di Bojonegoro bukan hanya soal penghasilan, melainkan soal ketertinggalan dalam regenerasi, pendidikan, dan kesempatan ekonomi.
Epilog: Sawah, Senja, dan Statistik
Angka-angka Bojonegoro menceritakan kisah yang lembut tapi tegas. Ia menggambarkan petani yang tetap setia pada tanah, meski usia menua dan hasil tak menentu. Ia juga mencerminkan pergeseran sosial — dari desa yang kehilangan tenaga mudanya hingga kota yang tumbuh tanpa pemerataan.
Bojonegoro hari ini berdiri di antara sawah yang hijau dan rig angguk yang terus berdenyut. Keduanya menjadi simbol masa lalu dan masa depan — yang satu menyimpan tradisi, yang lain menjanjikan perubahan. Namun di tengah keduanya, satu pertanyaan terus bergema:
Siapa yang akan meneruskan cerita tanah ini ketika para petani sudah berhenti menanam?
Penulis : Syafik
- BKKBN (https://portalpk-siga.bkkbn.go.id/tabulasi/IK/Tabel1)
- BPS Bojonegoro (https://bojonegorokab.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTQwIzI=/penduduk-kabupaten-bojonegoro-menurut-kelompok-umur-dan-jenis-kelamin—jiwa-.html)
- Damisda (https://damisda.bojonegorokab.go.id/)