Di balik geliat pembangunan dan kemajuan ekonomi Jawa Timur, ada satu medan tempur yang kerap luput dari sorotan: perang melawan penyakit menular. Perang ini tak menggelegar, tapi berlangsung senyap—di puskesmas, di rumah-rumah sempit, bahkan di tubuh anak-anak yang ringkih. Tuberkulosis (TBC), Demam Berdarah Dengue (DBD), hingga HIV/AIDS masih mengintai seperti bayangan panjang yang tak mau pergi.
Peta Jawa Timur: Ketika Penyakit Menular Mengetuk Setiap Pintu
Mari mulai dari ketinggian: peta besar Jawa Timur menunjukkan bahwa TBC masih menjadi lawan berat. Kota Kediri mencatat kasus tertinggi (118,1/100.000), sementara Trenggalek memberi harapan dengan tingkat keberhasilan pengobatan 99,2%. Di sisi lain, DBD menggempur Kota Madiun (290/100.000) dan Probolinggo (238) dengan intensitas tinggi.
Sementara itu, HIV/AIDS diam-diam bergerak keluar dari kota besar dan mulai menancapkan kuku di wilayah-wilayah yang dulu tenang.
Namun ada satu kabar baik: malaria hampir punah (<0,1/1.000), seperti nyamuk yang kehilangan ladangnya. Tapi tak semua luka sembuh—kusta masih bertahan keras kepala di Madura.
Bojonegoro: Bukan Zona Merah, Tapi Masih Bergelombang
Jika Jawa Timur adalah samudera luas, maka Bojonegoro adalah kapal yang masih bisa berlayar, tapi dengan lubang-lubang kecil di dek bawahnya. Di permukaan, ia tampak kuat:
-
TBC: Deteksi tinggi (92,4/100.000) dan pengobatan efektif (90,8%)
-
DBD: Rendah (48/100.000) dibandingkan rata-rata provinsi (76/100.000)
-
HIV/AIDS: Level menengah (53 kasus)
-
Diare balita: 10.663 kasus, terutama di Sumberrejo (960) dan Baureno (687)
Namun saat kita menyelam lebih dalam, ada arus berbahaya yang tersembunyi. Salah satunya adalah diare balita—bukan sekadar statistik, tapi isyarat bahwa sanitasi belum menjadi budaya.
Menelusuri Titik-Titik Rawan: Di Mana Bahaya Mengendap
Setiap kabupaten punya luka yang berbeda. Di Bojonegoro, luka-luka itu tersebar di sejumlah kecamatan—seperti bara yang masih menyala di balik semak.
Dander: Bara TBC yang Masih Membara
-
122 kasus TBC
-
40 kasus DBD
-
17 HIV/AIDS
Dander butuh lebih dari sekadar pengobatan; ia butuh gerakan menyeluruh—dari skrining massal hingga integrasi penanganan DBD dan HIV.
Bojonegoro Kota: Masalah Perkotaan yang Tak Selesai
-
56 kasus DBD
-
25 HIV/AIDS
-
109 kasus TBC
Ini bukan sekadar soal fasilitas, tapi soal gaya hidup, kepadatan, dan kurangnya deteksi dini. Pendekatan berbasis kelurahan dan sistem layanan cepat tanggap jadi kebutuhan mendesak.
Sumberrejo & Baureno: Ketika Air Bersih Jadi Kemewahan
-
Sumberrejo: 960 kasus diare
-
Baureno: 687 kasus diare + 2 malaria
Intervensi harus fokus ke sanitasi total berbasis masyarakat dan edukasi dasar pada rumah tangga.
Kalitidu: Jentik yang Tak Mau Pergi
-
55 kasus DBD
Fogging sesaat tak cukup. Pemetaan jentik dan kampanye 3M Plus berbasis RT harus menjadi gerakan jangka panjang.
Kepohbaru & Balen: Kelelahan Menghadapi Beban Ganda
-
Kepohbaru: 76 TBC + 634 diare + 33 DBD
-
Balen: 66 TBC + 641 diare + 34 DBD
Mereka butuh Posyandu Plus yang melayani balita, orang dewasa, lansia, dan remaja.
Belajar dari Sekitar: Bojonegoro Tidak Sendiri
-
vs Lamongan: Bojonegoro unggul dalam TBC (92,4 vs 82,2), lebih ringan di DBD (48 vs 64) dan HIV/AIDS (53 vs 92)
-
vs Tuban: Bojonegoro lebih baik dalam TBC (92,4 vs 75,2) dan kusta (5,3 vs 11,2)
-
vs Nganjuk: Bojonegoro jauh lebih sedikit HIV/AIDS (53 vs 177) meski TBC lebih tinggi
Setiap wilayah punya lanskap kesehatan sendiri. Bojonegoro tak sedang kalah, tapi juga belum aman.
Langkah-Langkah: Dari Statistik Menuju Aksi Nyata
-
TBC: Mobile clinic ke Dander dan Bojonegoro Kota, edukasi di ruang publik
-
DBD: Gerakan 3M Plus, fogging terfokus, libatkan RT dan kader
-
Diare balita: Prioritaskan air bersih, pelatihan sanitasi, dimulai dari dusun hingga sekolah
-
HIV/AIDS: Tes gratis, edukasi remaja, perluas layanan
-
Malaria: Pantau Baureno, jangan abaikan 2 kasus kecil itu
Akhir Kata: Menjaga Bojonegoro Tetap Sehat Adalah Tanggung Jawab Bersama
Bojonegoro memang bukan medan darurat. Tapi jika kita jujur, ada bara yang menyala di balik data. Bara itu bisa padam—jika kita bersama-sama menyiramnya dengan pengetahuan, kepedulian, dan tindakan nyata.
Karena kesehatan bukan proyek pemerintah semata. Itu adalah warisan paling konkret yang bisa kita tinggalkan untuk generasi setelah kita.
Penulis ; Syafik
Sumber data : BPS Jatim Bojonegoro dalam Angka tahun 2025,BPS Bojonegoro