Bojonegoro, damarinfo.com – Menurut hasil Survei Penilaian Integitras (SPI) yang dilaksanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2021, nilai indeks SPI Kabupaten Bojonegoro adalah 71,09. Atau masuk dalam kategori rentan atau beresiko tinggi terjadi korupsi, berdasar kriteria yang ditetapkan oleh KPK. (https://jaga.id/jendela-pencegahan/spi?vnk=ef9dbafc, diakses Sabtu 15-10-2022, Pukul 08.00 WIB)
Dari tujuh hal yang menjadi perhatian dalam SPI ini, di Kabupaten Bojonegoro Resiko penyalahgunaan fasilatas Kantor untuk Kepentingan Pribadi menjadi yang paling tinggi. Urutan kedua adalah Resiko Nepotisme dalam Pengelolaan SDM. Urutan ketiga adalah Resiko Pengelolaan Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ. Urutan ke empat adalah Resiko Trading in inluence atau adanya permasalahan dalam pengelolaan Pengadaan Barang dan Jasa di instansi (mis. Kualitas Barang dan Jasa lebih rendah dari harga barang dan jasa, adanya gratifikasi dari vendor, penentuan pemenang sebelum proses lelang berjalan, dll). Urutan kelima adalah Resiko Penyalahgunaan Perjalan Dinas. Urutan ke enam adalah Resiko Suap/Gratifikasi. Urutan ke tujuh adalah Resko jual beli jabatan

Dibandingkan nilai indeks SPI Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota) secara nasional, kabupaten Bojonegoro berada urutan ke 288 dari seluruh pemerintah provinsi dan Kabuapaten/Kota seluruh Indonesia.
Sementara di level Jawa Timur Bojonegoro menempati urutan ke empat indeks SPI terendah dari 38 Kabupaten/Kota, masuk kategori Kabupaten dengan resiko terjadinya korupsi tinggi. Kabupaten Jember adalah menjadi Kabupaten dengan nilai indeks SPI terendah yakni 54,99, berikutnya adalah Kabupaten Pacitan dengan nilai indeks SPI 61,54 dan yang ketiga adalah Kota Pasuruan dengan nilai indeks SPI 71,03.
Dikutip dari laman https://aclc.kpk.go.id/action-information/exploration/20220713-null, Wahyu Dewantara Susilo, Spesialis Monitoring KPK, mengatakan bahwa SPI telah menjadi salah satu alat penting dalam mengukur keberhasilan pemberantasan korupsi, selain Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dan Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK).
“IPAK adalah pengukuran di tingkat individu, IPK di tingkatan negara. Sementara SPI ada di tingkat organisasi. Survei Penilaian Integritas mengambil celah yang belum tersentuh oleh IPAK atau IPK,” kata Wahyu dalam perbincangan dengan ACLC.
SPI bertujuan untuk memetakan risiko korupsi, menilai pengelolaan anggaran dan mengukur efektivitas pencegahan korupsi yang dilakukan masing-masing instansi. Semakin rendah nilai SPI, menunjukkan semakin tinggi risiko korupsinya.
Wahyu menjelaskan, SPI penting untuk menciptakan kesadaran akan adanya risiko korupsi di pemerintahan, kementerian, atau lembaga. Hasil SPI yang dipublikasikan ke masyarakat juga akan mendesak dilakukannya perbaikan sistem pada organisasi agar tidak ada lagi celah korupsi.
“Jika nilai SPI jelek, maka di mata publik akan kurang bagus. Naming and shaming ini akan menciptakan tekanan untuk memperbaiki diri hingga kepada tingkatan yang dapat diterima oleh publik,” kata Wahyu.
Penulis : Syafik