Beda Metode, Idul Adha Muhammadiyah dan Arab Saudi Kebetulan Bareng

oleh 110 Dilihat
oleh
(Jamaah Haji dari Bojonegoro yang sudah berada di Arab Saudi. Foto: ist)

Bojonegoro,damarinfo.com – Perayaan Idul Adha 1444 H atau Tahun 2023 di Indonesia dipastikan tidak bersamaan. Muhammadiyah merayakan Idul Adha pada hari Rabu, 28-Juni-2023, sementara Pemerintah dan Nahdlatul Ulama merayakannya pada Hari Kamis 29-Juni-2023.

Dosen Al Islam Kemuhammadiyahan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah Bojonegoro Sholihin Jamik menyampaikan perayaan Idul Adha yang bakal dilaksanakan oleh Muhammadiyah ternyata bersamaan dengan penetapan dari Kerajaan Arab Saudi. Meski sebenarnya ada perbedaan metode yang digunakan. Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki sementara Arab Saudi menggunakan Rukyat. Perbedaan metode ini yang menyebabkan beberapa kali terdapat perbedaan antara Muhammadiyah dan Kerajaan Arab Saudi dalam penetapan Idul Adha beberapa tahun sebelumnya.

“Jadi kebetulan saja bersamaan, karena metode penentuannya berbeda” Kata Sholikhin Jamik

Lanjut Sholihin Jamik terdapat beberapa organisasi masyarakat (Ormas) yang menggunakan patokan pelaksanaan wukuf di Arafah oleh para Jamaah haji, yakni sehari setelah wukuf adalah perayaan Idul Adha. Alasannya, puasa Arafah sangat terkait dengan peristiwa wukuf di Arafah sehingga puasa tersebut harus dilaksanakan bersamaan dengan saat wukufnya jamaah haji di Padang Arafah.

Baca Juga :   KSK Bojonegoro ikut Bergembira di Muktamar Muhammadyah Solo

“Juga ada kelompok yang mencita-citakan Tanah Suci di Arab Saudi: Mekah dan Madinah, sebagai pusat ibadah umat Islam dunia. Sebagai konsekuensinya, tidak hanya hari Arafah dan Idul Adha yang harus sama, melainkan juga Idul Fitri” Ujar Sholikhin Jamik

Sholikhin Jamik menegaskan bahwa Muhammadiyah tetap pada keputusannya  dalam menetapkan hari Arafah dan Idul Adha, Persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini tetap berpedoman pada hasil hisabnya sendiri.

“Karena itu, di lain waktu tetap berpotensi menimbulkan perbedaan dengan Arab Saudi” Imbuh Sholikhin Jamik

Muhammadiyah menentukan awal bulan  memakai metode hisab. Dan metode hisab  yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter:

  1. Telah terjadi konjungsi atau ijtimak
  2. Ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam
  3. Pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.
Baca Juga :   Jalan Tulus Muhammadiyah

Terkait Puasa Arofah, Sholikhin Jamik menyampaikan, bahwa hari Arafah itu bukan hari ketika jamaah haji wukuf di Arafah, tetapi hari Arafah itu tanggal 9 Dzulhijjah, jadi tidak ada masalah rakyat Indonesia selain warga Muhammadiyah tetap saja puasa Arofah walaupun di Arab Saudi dan warga Muhammadiyah sudah hari raya Idul Adha.

Secara historis. Nabi SAW menerima wahyu haji tahun ke-6 hijrah. Sementara Nabi baru haji tahun ke-9 setelah hijrah. Berarti tiga tahun setelah menerima wahyu itu baru haji. Sementara pada saat itu sudah ada ajaran tentang puasa Arafah. Sehingga sebelum ada haji sudah ada puasa Arafah, sudah ada hari Arafah.

Argumentasi lain juga bisa kita kedepankan, seandainya terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan, sehingga pada suatu tahun ternyata jamaah haji tidak bisa wukuf di Padang Arafah,

“bukankah tidak membatalkan adanya puasa Arafah?” Pungkas Sholikhin Jamik

Penulis : Syafik