Bansos Pangan Bojonegoro: Prestasi yang Bikin Gelisah

oleh 104 Dilihat
oleh
(Ilustrasi by Qwen)

damarinfo.com – Di permukaan, cerita tentang Bantuan Sosial Pangan (Bansos Pangan) di Bojonegoro tahun 2024 terdengar seperti kabar gembira. Kabupaten ini berhasil menyalurkan bantuan ke 425.593 keluarga dari 430.543 yang ditargetkan, alias 98,85%—lebih baik dari rata-rata Jawa Timur. Anggaran Rp255,35 miliar dari Rp258,32 miliar juga sudah digelontorkan. Tapi, kalau kita berhenti sejenak dan mengintip di balik angka-angka itu, ada sesuatu yang menggelitik: peringkat ke-11 tertinggi penerima bansos di Jawa Timur. Artinya apa? Bojonegoro punya banyak sekali keluarga miskin. Prestasi penyaluran ini, meski patut diacungi jempol, sebenarnya adalah alarm yang berbunyi kencang tentang kondisi kemiskinan yang belum juga reda.

Jawa Timur: Angka Besar, Masalah Besar

Jawa Timur memang main besar di 2024. Dari target 11,99 juta keluarga penerima manfaat (KPM), 11,8 juta sudah kebagian bantuan, dengan dana Rp7,08 triliun dari Rp7,19 triliun tersalurkan. Capaian 98,46% ini kelihatan mengesankan, tapi mari kita jujur: angka KPM yang selangit itu bukan trofi, melainkan cermin betapa banyaknya keluarga di provinsi ini yang masih bergelut dengan kemiskinan. Jember memimpin dengan 805.919 KPM, sementara Kota Batu “hanya” punya 28.707. Tapi, di tempat seperti Sampang, selisih 11.336 keluarga yang belum dapat bantuan menunjukkan bahwa distribusi masih pincang. Ini bukan sekadar urusan logistik; ini tentang sistem yang belum sepenuhnya bisa menjangkau mereka yang paling lapar.

Bojonegoro: Efisien, Tapi…

Bojonegoro, dengan peringkat ke-11 di Jawa Timur, sebenarnya punya cerita distribusi yang lumayan heroik. Dari 430.543 KPM yang direncanakan, 425.593 sudah menerima bantuan. Angka 98,85% ini lebih tinggi dari rata-rata provinsi, dan dana yang tersalur juga hampir menyentuh plafon. Tapi, jangan buru-buru tepuk tangan. Peringkat ke-11 ini artinya Bojonegoro punya ratusan ribu keluarga yang hidup di garis kemiskinan, lebih banyak dibandingkan 26 kabupaten/kota lain di Jawa Timur. Setiap KPM yang tercatat bukan cuma nama di kertas, tapi keluarga nyata yang mungkin cuma punya harapan dari beras dan sembako bansos untuk makan besok.

Baca Juga :   Kabupaten Bojonegoro (Masih) Termiskin di antara Kabupaten/Kota Terkaya di Indonesia

Lalu, ada 4.950 keluarga yang masih menunggu bantuan mereka. Empat ribu sembilan ratus lima puluh. Itu bukan sekadar angka kecil yang bisa diabaikan; itu ribuan perut yang mungkin masih kosong karena data salah, truk telat, atau birokrasi yang berbelit. Efisiensi anggaran 98,85% memang bagus, tapi sisa Rp2,97 miliar yang belum tersalurkan adalah pengingat bahwa sistem ini belum sempurna.

Keren di Angka, Suram di Realita

Capaian distribusi yang tinggi ini memang prestasi teknis. Tapi, mari kita tarik napas dan lihat gambaran besarnya: semakin banyak KPM, semakin parah kondisi kemiskinan di suatu daerah. Bojonegoro bukan cuma sedang berlomba menyalurkan bantuan; kabupaten ini sedang berhadapan dengan krisis kemiskinan yang tak kunjung usai. Peringkat ke-11 bukan medali, tapi lampu merah yang berkedip, menunjukkan bahwa ada ratusan ribu warga yang masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Bansos adalah solusi jangka pendek, tapi tanpa strategi jangka panjang—pendidikan, lapangan kerja, akses kesehatan—cerita ini akan berulang seperti kaset rusak.

Baca Juga :   Polisi Bojonegoro Kawal Penyaluran BLT BBM

Tantangan di Bojonegoro bukan cuma soal distribusi. Data penerima yang nggak akurat, logistik yang tersendat, dan anggaran yang belum 100% optimal adalah gejala dari masalah yang lebih dalam: ketimpangan ekonomi dan sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada yang paling lemah. Kalau kita bangga dengan 98,85%, kita lupa bahwa 1,15% yang tersisa adalah ribuan keluarga yang masih menanti.

Apa yang Harus Dilakukan?

Bojonegoro perlu lebih dari sekadar tepuk tangan untuk distribusi bansos. Beberapa langkah kritis harus diambil:

  • Bersihkan Data Penerima: Data yang kacau sama dengan bantuan yang nyasar. Validasi ketat harus dilakukan agar bansos tepat sasaran.

  • Perbaiki Logistik, Serius: Distribusi yang tersendat bukan cuma urusan truk, tapi soal komitmen untuk menjangkau pelosok.

  • Transparansi Bukan Sekadar Slogan: Anggaran harus dilaporkan secara terbuka, biar warga tahu uang mereka ke mana.

  • Jangan Cuma Bansos: Pemerintah daerah harus berpikir lebih besar—investasi di pendidikan, pelatihan kerja, dan infrastruktur ekonomi untuk memutus rantai kemiskinan.

Jangan Puas dengan Peringkat

Bojonegoro boleh bangga dengan efisiensi bansosnya, tapi peringkat ke-11 adalah pengingat pahit: kemiskinan masih jadi musuh besar di sini. Capaian 98,85% adalah langkah teknis yang baik, tapi bukan kabar gembira. Setiap KPM yang bertambah adalah tanda bahwa ada keluarga lain yang jatuh ke jurang kemiskinan. Bojonegoro harus berani bermimpi lebih besar—bukan cuma menyalurkan bantuan, tapi membebaskan warganya dari belenggu kemiskinan. Kalau tidak, kita cuma akan terus menghitung angka, tanpa pernah mengubah cerita.

penulis : Syafik

Sumber : BPS Jatim