Misteri Makam Orang Kalang: Kisah Terpendam dari Jaman Kolonial di Bojonegoro

oleh 74 Dilihat
oleh
(Foto Makam Orang Kalang. sumber de lokomotief 1-6-1935)

damarinfo.com – Di masa ketika bumi Jawa masih dikuasai para Tuan Belanda, di bawah bayang-bayang pohon-pohon kelapa dan rimba lebat Bojonegoro, terselip sebuah rahasia kuno yang menggoda jiwa para petualang dan pemikir. Pada tahun-tahun itu, ketika koran-koran berbahasa Belanda seperti De Lokomotief dan De Indische Courant sibuk mencatat gemerlap kota dan intrik kolonial, sebuah penemuan di pelosok hutan Bojonegoro mencuri perhatian: makam-makam kuno milik Orang Kalang, sebuah kaum misterius yang konon menguasai seni memahat batu dan menjaga ternak dengan keahlian tiada tara. Dari lereng Kanten hingga bukit Parèngan, jejak mereka, yang terungkap antara 1929 dan 1939, bagaikan kitab tua yang menanti dibaca kembali di zaman kita kini.

Makam yang Berbisik di Tengah Hutan

Bayangkan sebuah petang di tahun 1929, ketika para arkeolog Belanda, dengan topi lebar dan catatan tebal, melangkah hati-hati di antara semak dan batu di lereng pegunungan Bojonegoro. Di sana, mereka menemukan makam-makam aneh yang tak serupa dengan tradisi Jawa atau Islam yang mereka kenal. Batu-batu besar, beberapa setebal setengah kaki, disusun rapi menghadap Timur-Barat, menentang arah kiblat. Ada pula lempengan batu raksasa, panjangnya dua meter dan lebarnya hampir satu meter, yang menurut De Lokomotief edisi 1 Juni 1935, hanya bisa diangkat oleh tujuh pria kekar. “Bagaimana mungkin penduduk kuno mengangkut batu sebesar ini tanpa roda atau mesin?” tanya seorang peneliti, keningnya berkerut, sambil mencatat di buku lusuhnya.

Makam-makam ini, yang tersebar dari Kanten hingga Wonotjolo dekat perbatasan Tuban, seolah berbisik tentang masa lalu. Beberapa ditutupi lempengan batu pipih, yang lain dibiarkan terbuka, terpapar angin dan hujan. Di dekat jalan tua yang menghubungkan Pagerwesi dan Djandjang, tiga makam yang sudah rusak ditemukan di lereng jurang, ditandai tumpukan batu sederhana. Penduduk desa berbisik bahwa tempat ini adalah wilayah Orang Kalang, kaum yang hidup selaras dengan hutan, menebang kayu, dan menggembala ternak di bawah langit Jawa yang luas.

(Tangkapan Layar halam depan koran de lokomotief, edisi 8-6-1935)

Orang Kalang: Bayang-Bayang di Catatan Kolonial

Siapakah Orang Kalang? Di tengah hiruk-pikuk pasar dan pelabuhan kolonial, nama mereka hanya samar-samar muncul dalam cerita rakyat dan laporan para pengelana. Mereka digambarkan sebagai pengukir batu ulung, yang mampu membentuk lempengan raksasa dengan presisi menakjubkan. Legenda lokal, yang masih dipercaya hingga masa kolonial, menyebut mereka hidup sekitar abad ke-17, dengan ciri aneh: ekor pendek yang membuat mereka tak bisa duduk tegak. “Mungkin itu cuma pakaian khas atau hiasan yang kini lenyap,” tulis seorang sejarawan Belanda, seperti dikutip De Indische Courant pada 23 September 1939, meski ia sendiri tak yakin.

Yang pasti, makam-makam mereka adalah bukti kehebatan. Batu-batu besar itu, kata para arkeolog, tak ditemukan di dekat lokasi makam. Bagaimana mereka membawanya? Dengan tali dan kayu, atau ada rahasia lain yang telah hilang ditelan waktu? Struktur makam mereka, dengan batu pipih menghadap Timur-Barat dan penutup kubus yang mengarah Utara-Selatan, mirip temuan di Sumatra Selatan dan Gunung Kidul, seperti yang diteliti Dr. A.N.J. Thomassen a Thuessink van der Hoop. “Ini bukan tradisi Islam,” tulisnya. “Mungkin jejak kepercayaan kuno, yang bertahan di tengah gelombang perubahan.”

Harta Karun di Bukit Parèngan

Tahun 1939 membawa kejutan baru. Di bukit Parèngan, 14 kilometer utara kota Bojonegoro, seorang pejabat lokal bernama M. Soejono berencana mengambil batu untuk bangunan. Namun, ketika kapak para pekerja menyentuh tanah, mereka menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga: pisau, tombak, dan kapak dari batu, dipahat dengan halus hingga berkilau di bawah matahari (De Lokomotief, 3 Agustus 1939). “Bukan batu biasa ini, Tuan!” seru seorang pekerja, tangannya gemetar memegang temuan itu.

Sayangnya, di masa itu, banyak penduduk tak tahu nilai sejarah benda-benda tersebut. Barulah ketika Dinas Purbakala, yang dipimpin para ahli Belanda, turun tangan, bukit setinggi 25 meter itu diakui sebagai harta karun arkeologi. Parèngan, yang nyaris jadi tambang, ternyata menyimpan cerita tentang Orang Kalang yang telah lama pergi.

Warisan yang Rapuh di Zaman Modern.

Di masa kolonial, Dinas Purbakala pernah berjanji menggali lebih dalam, tapi kini tugas itu jatuh ke tangan kita. Masyarakat Bojonegoro bermimpi besar: museum yang menceritakan kehebatan Orang Kalang, jalur wisata yang membawa pengunjung ke makam-makam kuno, atau festival yang menghidupkan kembali seni dan cerita mereka. Ini bukan sekadar pelestarian, tapi cara kita menghormati mereka yang pernah hidup di bawah bayang-bayang hutan Jawa.

Sepucuk Surat dari Masa Lalu

Dari halaman-halaman kuning De Lokomotief dan De Indische Courant, Orang Kalang mengirimkan pesan kepada kita. Sejarah, kata mereka, tak selalu tentang istana atau perang besar. Kadang, ia tersembunyi dalam batu-batu di lereng bukit, dalam legenda tentang ekor, dalam keahlian yang menentang zaman. Di Bojonegoro, dari Kanten ke Parèngan, mereka mengajak kita untuk mendengar, untuk menggali, dan untuk memastikan cerita mereka tak lagi terpendam. Mungkin, di bawah batu berikutnya, ada rahasia lain yang menunggu kita temukan.

Penulis : Syafik

Sumber : (de lokomotif edisi 8-6-1935, edisi 3-8-1939, de indische courant edisi 23-9-1939, diunduh dari delpher.nl)

(Disclaimer : Diterjemahkan dengan menggunakan qwen.ai, sehingga mungkin terjadi kesalahan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *