damarinfo.com Pada Desember 1936, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro merilis anggaran tahun 1937. Di tengah bayang-bayang krisis ekonomi global dan kekuasaan kolonial Hindia Belanda, dokumen ini merekam upaya sebuah daerah untuk bertahan. Sumber utama berasal dari harian De Indische Courant edisi 22 Desember 1936 yang merinci alokasi dana untuk infrastruktur, kesehatan, pendidikan, hingga keamanan.
Namun, di balik angka-angka itu, muncul pertanyaan yang tak terhindarkan: apakah benar kebutuhan rakyat sudah jadi prioritas, ataukah sekadar menjalankan administrasi kolonial?
Konteks: Nilai Gulden dan Daya Beli Rakyat
Sebelum membahas rincian, penting untuk memahami nilai gulden kala itu. Berdasarkan berbagai sumber ekonomi historis, 1 gulden tahun 1937 setara dengan sekitar Rp 30.000 hari ini. Maka, anggaran pengeluaran sebesar 82.717 gulden kira-kira setara dengan Rp 2,48 miliar sekarang, sementara penerimaannya 88.717 gulden (±Rp 2,66 miliar).
Pengeluaran: Jalan Mulus, Sekolah Terlupakan
Tiga sektor menyerap hampir seluruh anggaran:
- Pekerjaan Umum (Openbare werken): 43.218 gulden (±Rp 1,3 miliar)
Fokus utama adalah pembangunan jalan, jembatan, atau bangunan umum. Dengan kata lain, ini menyedot lebih dari setengah anggaran. - Keamanan Umum (Openbare veiligheid): 10.415 gulden (±Rp 312 juta)
Termasuk untuk polisi dan pengamanan. Stabilitas—atau kontrol kolonial?—jadi kunci. - Kesehatan Masyarakat (Openbare gezondheid): 8.368 gulden (±Rp 251 juta)
Layanan dasar kesehatan tersedia, namun skalanya masih minim.
Sementara itu:
- Pendidikan & Seni (Onderwijs): hanya 4.438 gulden (±Rp 133 juta).
Ini angka yang menyedihkan. Pendidikan—motor kemajuan masyarakat—justru nyaris diabaikan.

Di sisi lain, pos seperti pemadam kebakaran dan perkebunan bahkan tidak mendapat alokasi sama sekali. Mungkin dianggap tidak penting, atau dialihkan ke sumber dana lain. Tidak dijelaskan.
Penerimaan: Pajak sebagai Nafas Pemerintahan
Tiga sumber penerimaan utama:
- Pajak & Bea (Belastingen): 48.269 gulden (±Rp 1,45 miliar)
- Sisa Tahun Sebelumnya (Batige sloten): 33.040 gulden (±Rp 991 juta)
- Penerimaan Negara/Lokal: 6.534 gulden (±Rp 196 juta)
Mayoritas berasal dari pajak rakyat. Tidak disebutkan penerimaan dari sewa tanah, perkebunan, atau investasi. Dengan demikian, ini memperkuat dugaan: rakyat membiayai pemerintahan yang belum tentu bekerja untuk mereka.
Tabel Ringkasan Anggaran Bojonegoro 1937:
Kategori | Jumlah (gulden) | Setara (Rp, ±) |
---|---|---|
Pendapatan | 88.717 | Rp 2,66 miliar |
– Pajak & Bea | 48.269 | Rp 1,45 miliar |
– Sisa Tahun Sebelumnya | 33.040 | Rp 991 juta |
– Penerimaan Lokal/Nasional | 6.534 | Rp 196 juta |
Belanja | 82.717 | Rp 2,48 miliar |
Sisa Lebih (SiLPA) | 6.000 | Rp 180 juta |
Catatan Tambahan: Hutang dan Tekanan Fiskal
Laporan juga menyebut tambahan pengeluaran sebesar 2.400 gulden (±Rp 72 juta) untuk membayar utang. Menariknya, ada peringatan dalam dokumen:
“Pengurangan subsidi tidak boleh mengurangi alat kerja atau staf, karena akan menghambat tugas pemerintahan.”
Dengan kata lain, pemerintah dipaksa efisien, tapi tidak boleh memotong jumlah pegawai. Sebuah dilema yang masih relevan hingga sekarang.
Refleksi: Apa yang Bisa Dipelajari Hari Ini?
- Pembangunan infrastruktur memang penting, tapi tanpa dukungan pendidikan dan kesehatan, itu hanya kosmetik kemajuan.
- Ketergantungan pada pajak rakyat tanpa diversifikasi sumber pendapatan menciptakan ketimpangan.
- Bojonegoro hari ini bisa bercermin: apakah kita masih mengulang logika anggaran era kolonial?
Anggaran 1937 adalah catatan masa lalu. Tapi nilainya tak hanya pada angka—melainkan pada cermin kebijakan yang bisa kita gunakan untuk menata masa depan.
Penulis : Syafik
Sumber : (De Indische courant Edisi 22-12-1936, diunduh dari delpher.nl diterjemahkan dengan chat.qwen.ai)