
Oleh : M. Yazid Mar’i (Sekretaris Dewan Penasehat KAHMI Bojonegoro)
Bojonegoro Gaduh. Kosa kata yang tengah mewarnai media sosial lokal nasional dalam sepekan terakhir. Tentang realisasi sejumlah proyek bernilai ratusan Milyar yang diduga berkualitas rendah, unjuk rasa sejumlah wartawan atas pelarangan liputan yang dianggap meciderai hak pers. Juga relokasi pasar tradisional ke pasar wisata.
Tentu ini menjadi pelajaran berharga bagi semua warga Bojonegoro untuk merekonstruksi ulang nurani, nalar, dan perilaku dengan sesekali mencoba melepas ego pribadi, kelompok kepada kepentingan bersama masyarakat Bojonegoro. Ini penting, karena Bojonegoro adalah milik semua, milik 1,3 Juta jiwa yang tengah bertarung mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasar, bukanlah obyek sederhana. Ia memiliki nilai historis dan fungsi yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Secara historis tentu pasar Bojonegoro dapat dikategorikan sebagai pasar tradisional, sehingga tidak sekedar berfungsi sebagai pengatur keuangan masyarakat, melainkan lebih sebagai lembaga sosial dan sarana interaksi sosial serta pelangsung kebudayaan. Karenanya letak pasar tradisional menggambarkan satu kesatuan dengan pusat pemerintahan; pasar, masjid, alun-alun, dan pendopo (Indriati dalam pasar tradisional, 2008).
Multi fungsi pasar tradisional, tentu juga beriring dengan mult iefek. Karenanya relokasi mesti membutuhkan multi kajian (sosiologi, historis, ekonomi, politik).
Meski pemimpin “Bupati Bojonegoro” terpilih secara politis, namun kebijakan yang lahir darinya “bukan ansich politik”, melainkan harus tetap memperhatikan sisi lainnya. Fungsi sosial bupati sebagaimana diamanatkan UU haruslah mampu menjamin kehidupan sosial masyarakatnya dan perlindungan sosial. Bicara kehidupan sosial juga tidak dapat dilepaskan oleh kehidupan ekonomi.
Relokasi pasar, tentu perlu memperhatikan efek domino ekonomi. Bagaimana keberlangsungan penjual, para pekerja angkat angkut, dan faktor yang menyertai, dan faktor sosiologis-demografis. Bisa dimaknai bahwa seorang penguasa bisa apa saja, namun perlu digaris bawah ia tidaklah “bisa semaunya”. Meski Lord Acton menyebut “Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely”.
Dan sebagai negara hukum, hukum lah pembatas kekuasaan absolut. Tentu warga pasar tradisional Bojonegoro, tak ingin berlarut dalam kegalauan. Maka DPRD sebagai perwakilan rakyat Bojonegoro, haruslah mampu memberikan jawabannya dengan cepat
“Bukan jawaban harap-harap cemas atau Cemas berharap”.