Blora – “Pak Ganjar, Saya ingin kaki saya sembuh. Saya ingin sekolah” Itu bunyi tulisan Alenda Primavea Dewi atau yang akrab disapa Vea, yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Gadis kecil 11 tahun itu terpakasa harus berdiam diri di rumah, karena sejak setahun lalu Vea tidak sekolah. Pasalnya tidak ada sekolah Dasar biasa yang menerima Vea, setelah Vea lulus Taman Kanak-Kanak (TK), padahal hanya karena kaki kirinya tidak dapat digerakan.
Vea pun hanya bisa berbaring di atas kasur lantai di ruang tamu ditemani Sang ibu, Adin Puji Utami warga Kelurahan Bangkle RW 1/RT 4, Kecamatan/Kabupaten Blora. Vea menghabiskan hari-harinya bercengkrama dengan kucing-kucingnya di rumah kontrakan itu. Aktifitas Vea hanya dari kamar tidur ke ruang tamu, itupun Vea harus merangkak.
Sesekali matanya menatap keluar rumah. Sepertinya dia ingin berlari berbaur dengan teman-teman seusianya yang sedang bermain di halaman. Vea hanya bisa tersenyum kala melihat temannya melambaikan tangan seakan mengajakanya ikut bermain.
‘’Kaki kirinya tertekuk tak bisa digerakkan. Untuk berdiri pun tidak bisa. Sejak bayi seperti itu,’’ ujar Adin Puji Utami, ibu Vea, Jumat 7-8-2020, pekan lalu.
Derita Vea dimulai sejak kelahiranya, Vea lahir prematur, pada saat usia kandungan baru enam bulan dua minggu. Bayi Vea pun harus diinkubator selama dua pekan di rumah sakit sebelum akhirnya diperbolehkan pulang.
Hanya saja dalam perkembangan lebih lanjut, Vea kerap sakit-sakitan saat bayi dan terpaksa dirawat di rumah sakit. Adin-sapaan sang ibu- mengaku, ketika Vea lahir dirinya sudah diperingatkan oleh dokter di rumah sakit. Yakni, jika anak yang lahir prematur akan ada gangguan pada fisik tulang ataupun pada mental anak.
‘’Vea ini tulangnya yang bermasalah. Sedangkan otak dan mentalnya, Alhamdulillah normal. Pikirannya sama seperti anak-anak seusianya,’’ tandas Adin.
Adin mengungkapkan, dalam proses pertumbuhan anak ketiganya itu, fisik sang anak mengalami kendala. Vea baru bisa mengangkat punggung dan bisa duduk saat usia delapan tahun. Vea juga baru masuk taman kanak-kanak (TK) ketika usia delapan tahun usai mendapatkan bantuan kursi roda, dengan diantar oleh sang ibu.
Selama proses pembelajaran itu, menurut Adin, Vea bisa dengan mudah menguasai materi pelajaran yang diajarkan guru. Vea pun bisa membaca dan menghitung dengan lancar.
Setelah lulus TK pada usia 10 tahun, Vea tak bisa melanjutkan ke sekolah dasar (SD). Beberapa SD yang hendak dituju Vea, menolaknya dengan halus. Pihak sekolah tersebut menyarankan Adin menyekolahkan Vea ke Sekolah Luar Biasa (SLB).
Hanya saja Adin tak mau memenuhi saran itu, karena menurut sang ibu, Vea normal secara otak dan mental. Wal hasil Vea pun satu tahun tak melanjutkan sekolah SD. Padahal dia sangat ingin masuk sekolah.
‘’Anak saya inikan normal mental dan pemikirannya. Hanya memang mengalami keterbatasan fisik. Jadi, satu tahun Vea tak sekolah. Di rumah saja tak pernah kemana-mana,’’ kata Adin.
Adin mengaku pernah disarankan bidan untuk membawa Vea menjalani terapi. Menurutnya, dengan terapi tersebut memungkinkan kaki Vea paling tidak bisa untuk berdiri. Namun, hingga kini saran tersebut belum pernah dilakukan. Alasannya, dia beranggapan biaya terapi pasti mahal. Apalagi suaminya, Gimin, hanya bekerja sebagai buruh bangunan dengan upah pas-pasan. Rumahnya pun hanya ngontrak. Sehingga tak mungkin bisa untuk membiayai pengobatan.
‘’Saya sangat berharap pihak berwenang di pemerintahan bisa membantu kami,’’ harap Adin.
Penulis : Ais
Editor : Syafik