Ulama Besar Indonesia di Mekkah Guru Pendiri NU dan Muhammadiyah. Siapa Dia?

oleh -
oleh
(Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi. Foto : tokohmuslim.com)

Damarinfo.com – Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto Tuo – Balai Gurah, IV Angkek, Agam, Sumatra Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi)

Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweekschool[4] yang tamat tahun 1871 M.

Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Syaikh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Al Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.

Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, Abdul Lathif Khatib Dinagari, ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, Abdul Lathif Khatib Dinagari kembali ke Sumatra Barat sementara Ahmad tetap tinggal di Mekkah untuk menyelesaikan hafalan Al Qurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Mekkah terutama yang mengajar di Masjidil Haram .

Baca Juga :   10 Ulama Indonesia  yang Menginspirasi Sejak Zaman Belanda Hingga Sekarang.

Awal berada di Mekkah, ia berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy. Usai melaksanakan haji, ia menimba ilmu di maktab milik Syekh Abdul Hadi, seorang syekh asal Inggris.

Mengenai bagaimana semangat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dalam thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu), berikut  penuturan seorang ulama yang sezaman dengannya, yaitu Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar rahimahullah dalam Siyar wa Tarajim hal. 38-39,

“…Ia adalah santri teladan dalam semangat, kesungguhan, dan ketekunan dalam menuntut ilmu serta bermudzakarah malam dan siang dalam pelbagai disiplin ilmu. Karena semangat dan ketekunannya dalam muthala’ah dalam ilmu pasti seperti matematika (ilmu hitung), aljabar, perbandingan, tehnik (handasah), haiat, pembagian waris, ilmu miqat, dan zij, ia dapat menulis buku dalam disiplin ilmu-ilmu itu tanpa mempelajarinya dari guru (baca: otodidak).”

Banyak sekali murid Syaikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi’i. Kelak di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah dari Buya Hamka; Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi, Syaikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syaikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, Syaikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, Syaikh Khatib Ali Padang, Syaikh Ibrahim Musa Parabek, Syaikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan Syaikh Hasan Maksum, Medan.

Baca Juga :   Antisipasi Covid-19, Pengajian Ahad Pagi Attaqwa Bojonegoro Diliburkan

Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, merupakan murid dari Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah.

Kealiman Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dibuktikan dengan diangkatnya ia menjadi imam dan khathib sekaligus staf pengajar di Masjidil Haram. Jabatan sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.

Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi wafat pada tanggal 9 Jumadil Awal tahun 1334 H di Mekkah, Saudi Arabia.

Penulis : Syafik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *