Bojonegoro – Malem Songo sebutan orang Jawa bertepatan dengan 29 bulan Ramadan, jadi momen tersendiri bagi pasangan yang hendak menikah. Malem Songo menjadi tradisi warga Jawa untuk menikahkan putraa-putrinya dimana kali ini bertepatan dengan 28 Ramadan 1441 Hijriyah atau pada Kamis 21-Mei-2020.
Di Kecamatan Sugihwaras, Bojonegoro misalnya, pada terdapat 38 pasangan yang melangsungkan pernikahan yang digelar di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, pada Kamis 21-Mei-2020. Namun jadi menarik karena, pada saat ini dalam suasana pandemi covid-19. Tentu saja pernikahan pun digelar dengan melaksanakan protokol kesehatan, dimana para calon pengantin, wali, saksi dan petugas dari KUA harus mengenakan masker dan sarung tangan.
Salah satu pasangan yang menikah adalah Rizal Abdul Kholik warga Desa Balongrejo Kecamatan Sugihwaras. Pria ini mendapatkan gadis dari Desa Glagahwangi Kecamatan yang sama, bernama Fina Faikhotur Rohmah.
Menurut Rizal, pemilihan tanggal pernikahan ditentukan oleh kedua orang tua, baik dari pihaknya maupun dari mempelai putri. Dirinya hanya mengikuti kesepakatan yang sudah dibuat oleh kedua orang tua mereka. “Orang tua kita yang menentukan,” kata Rizal dengan raut bahagia setelah melangsungkan pernikahan.
Dikutip dari https://islam.nu.or.id/post/read/97043/hukum-menikah-yang-menjadi-tradisi-di-bulan-ramadhan. Dalam pandangan sebagian ulama perkawinan pada Malam Songo itu tidaklah bertentangan dengan ajaran dan ketentuan Islam. Tidak adanya perintah atau larangan mengenai bulan tertentu untuk melangsungkan pernikahan, bisa menjadi faktor atau alasan adanya kebiasaan atau tradisi melangsungkan pernikahan di bulan Ramadan. Jelasnya yang dimaksudkan untuk memperoleh keberkahan.

Selain itu, kebiasaan tersebut terkait pula dengan tradisi di tanah air. Yaitu Lebaran Hari Raya Idul Fitri umumnya diperingati lebih meriah dibandingkan Hari Raya Idul Adha (Bulan Haji). Dimaksudkan pula agar pasangan suami istri bisa leluasa merayakan lebaran dengan silaturahim, halal bihalal, rekreasi, dan sebagainya.
Kebiasaan tersebut masuk ke dalam kategori kaidah fikih al-‘Âdatu muhakkamah. Yakni adat atau kebiasaan dalam masyarakat bisa dijadikan hukum, selama tidak bertentangan dengan ajaran atau ketentuan dalam Islam. Menjadi lebih istimewa, bila pernikahan yang dilangsungkan pada bulan Ramadan itu pun bertepatan dengan hari Jumat, hari mulia dan penuh berkah .
Sementara itu dalam theses mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Yudi Arianto yang berjudul Tradisi Perhitungan Dino Pasaran dalam Perkawinan Masyarakat Desa Klotok Kecamatan Plumpang Kabupaten Tuban, menyebutkan, salah satu dongke sebutan untuk orang yang ahli perhitungan Jawa, Mbah Sujud jika hasil perhitungan Jawa kurang baik, maka sudah tidak jadi persoalan saat ini. Soalnya anak-anak saat ini tidak bisa dipaksa mengikuti kaidah Jawa secara ketat “Kejobo nek ngebo bingung, istilahe ngebo bingung kuwi angger dino kuwi apik dilakoni malem songo, pokok e dipasani wong slamet ngunu ae, lek dipilah pilih ora tepak tambah ora karuan. Bocah saiki nek wis podo senenge nek dilarang malah doso engko.”
Artinya, kecuali kalau Ngebo Bingung, istilah ngebo bingung itu semua hari baik, dilaksanakan pada malam 29 Ramadan. Intinya sudah dipuasa ni orang banyak jadi akan mendapatkan keselamatan. Jika hari pernikahan dipilah dipilih tidak sesuai nanti malah tidak karuan. Anak sekarang jika sudah suka sama suka kemudian dilarang malah dosa nanti)
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko