Tokoh Aisyiyah Dibalik Lahirnya Hari Ibu di Indonesia

oleh 136 Dilihat
oleh
(Foto : Konggres Perempuan Pertama, Sumber :wikipedia berbahasa indonesia)

Bojonegoro, damarinfo.com-Tanggal 22 Desember diperingati sebagai hari ibu di Indonesia. Seorang Petinggi Aisyiyah jaman itu (kader perempuan Muhammadiyah) disebut sebagai tokoh lahirnya Hari Ibu. Berawal dari sosok Presiden Soekarno yang membuat keputusan Nomor No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959.

Tanggal tersebut dipilih untuk memperingati pembukaan konggres perempuan  pertama di Indonesia,  yakni pada 22 Desember 1928. Tanggal tersebut dipilih untuk merayakan semangat wanita Indonesia sekaligus  meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara.

Laman wikipedia berbahasa Indonesia menuliskan, munculnya Hari Ibu karena setelah Soekarno menetapkan Hari Kartini sebagai simbol emansipasi wanita, banyak protes dari masyarakat. Alasannya banyak pahlawan wanita yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.  Sebut saja Tjut Nyak Dien, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan dan lain-lain. Sementara Kartini dianggap hanya berjuang di wilayah lokal, yaitu di Rembang dan Jepara. Selain itu Kartini dianggap lebih pro-Belanda.

Akhirnya Presiden Soekarno menerbitkan keputusan tentang Hari Ibu. Tentu ini untuk memberikan penghormatan kepada para pahlawan wanita yang  telah berjuang memerdekakan Republik Indonesia.

(Siti Munjiah, Foto : Wikipedia berbahasa indonesia)

Sebenarnya ada dua  tokoh perempuan dari Organisasi Aisyiyah (Organisasi Perempuan dari Muhammadiyah) yang menjadi kunci dalam konggres perempuan pertama tahun 1928 tersebu Yakni Siti Munjiyah (Ketua Aisyiyah periode 1932 -1936) dan Siti Hajinah.

Baca Juga :   Natasya Devianti: Pembelajaran Daring Sulit Dilaksankan untuk Tingkat TK-SD

Siti Munjiyah lahir pada tahun 1896 (14 Dzulhijjah 1317 H) di Kampung Kauman Jogjakarta. Siti Munjiyah adalah Putra Haji Hasyim yang merupakan abdi dalem Keraton pada masa pemerintahan Hamengkubuwana VIII. Haji Hasyim adalah salah satu pendukung gerakan Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan sehingga seluruh putra-putrinya mengaji kepada KH. Ahmad Dahlan.

Munjiyah merupakan salah satu wanita modern generasi awal di Hindia-Belanda yang memiliki latar belakang pendidikan yang baik.  Munjiyah dan para wanita lain di Kauman memang telah dipersiapkan oleh Ahmad Dahlan untuk menjadi seorang mubalighat (ulama wanita). Para aktivis wanita muda itu dibimbing dan disekolahkan oleh Dahlan pada tahun 1913 agar menguasai ilmu pengetahuan umum maupun ilmu agama.

Pendidikan tersebut memunculkan kesadaran kritis bahwa adat yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat Kauman sangat menghambat kemajuan kehidupan wanita, sehingga wanita hanya memiliki ruang terbatas dalam aktivitas sosial.

Setahun setelah berhasil menyekolahkan para wanita Kauman di sekolah umum dan sekolah agama, Ahmad Dahlan dan istrinya mendirikan perkumpulan kaum wanita yang berawal dari kursus membaca Al-Qur’an dengan nama Sopo Tresno. Perkumpulan inilah yang kelak diubah namanya menjadi Aisyiyah Pada tahun 1917 dan menjadi organisasi otonom (ortom), yang diberi hak mengatur organisasinya secara mandiri. Sopo Tresno (bahasa Jawa) berarti “Siapakah yang berkasih sayang”. Pada waktu itu, perkumpulan ini belum menjadi suatu organisasi, tetapi hanya gerakan pengajian saja.

Baca Juga :   Berikut Nama-Nama Pengurus Daerah Muhammadiyah Bojonegoro Masa Hidmat Tahun 2022- 2027
(Perkumpulan Sopo Tresno/cikal bakal organiasi aisyiyah. Foto : 100 tahun Muhammadiyah)

Melalui perkumpulan itulah kaum wanita di Kauman, termasuk Munjiyah, mendapatkan pendidikan berorganisasi dan aktif bergerak di bidang sosial-keagamaan. Sembari menjalani pendidikan di Madrasah Diniyah Ibtidaiyah, dia dan para wanita lain dididik untuk tidak hanya memahami pengetahuan agama saja, tetapi juga dididik menjadi pemimpin yang memiliki sikap pembaharu di Kauman.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Diniyah dan mendapatkan pendidikan berorganisasi di Sopo Tresno, Munjiyah menjalani pendidikan di Al-Qismul Arqo[f] yang diselenggarakan di emperan rumah Ahmad Dahlan sejak tahun 1918.

Munjiyah mengembuskan napas terakhirnya pada 1955 akibat menderita kanker payudara. Dirinya saat itu sedang berada di Kota Tasikmalaya untuk menghadiri konferensi yang diselenggarakan oleh Aisyiyah.

Penulis : Syafik

Sumber : wikipedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *