Cerita Dokter Galih yang Sembuh dari Virus Corona

oleh -
Dokter Galih Puspitasari, salah satu petugas medis di RSUD Blora, saat memberikan testimoni atas pengalamannya sembuh dari Covid-19, saat jumpar pers pada Senin 22-6-2020.Foto/Dok.Humas Pemerintah Blora

Blora-Dokter Galih Puspitasari, adalah salah satu dari sekian petugas medis yang punya pengalaman menarik, selama pandemi virus corona atau Covid-19. Tak hanya pengalaman, tetapi dokter yang sehari-hari bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Blora ini, terpapar virus corona dan dinyatakan sembuh setelah menjalani pengobatan.

Lalu bagaimana ceritanya sehingga Ibu dokter ini lolos dari jeratan maut virus yang awalnya merebak dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina ini.

Dokter Galih, telah menjalani isolasi diri dan ditanyakan sembuh setelah menjalani pada 16 Juni 2020 lalu. Testimoni Ibu dokter ini digelar di depan Bupati Djoko Nugroho yang juga merangkap Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 Kabupaten Blora, acara konferensi pers terkait perkembangan persebaran virus Corona. Hadir juga Plt. Kepala Dinas Kesehatan, Lilik Hernanto.

Sebagai dokter yang positif terpapar Covid-19. dirinya sudah banyak diberitakan sebagai salah satu tenaga medis RSUD Blora yang terkena Covid-19. Pada awalnya mengalami demam tinggi karena kemungkinan kelelahan bertugas, ternyata setelah semalam demam masih tinggi. Karena merasa punya resiko tinggi sebagai tenaga medis, maka saya langsung isolasi mandiri di rumah supaya tidak kontak dengan anggota keluarga yang lanjut usia selama tiga hari hingga dinyatakan harus lawat inap.

Dari hasil lab pertama, lanjut dr. Galih, dirinya mengalami limfositopeni ringan, trombositopeni ringan, resiko sedang Covid-19. Selanjutnya dari ct scan dada menghasilkan adanya glass ground opacity yang mengarah khas ke Covid-19.“Seiring dengan kesiapan ruang isolasi di RSUD, akhirnya saya isolasi di rumah sakit. Memang berat mengambil keputusan untuk rawat inap di ruang isolasi ini. Karena harus sendirian di dalam kamar 3×5 meter yang tanpa ada AC agar udara tidak tersebar kemana mana. Saya rawat inap di ruang isolasi selama 11 hari dan demam selama 10 hari,” lanjutnya.

Selama rawat inap, dirinya mengaku ada perasaan sedih dan kecewa karena itu manusiawi. Namun dirinya sadar untuk terus bangkit dan tetap makan meskipun mengalami mual-mual. “Jadi gejala saya hanya demam dan mual. Tidak ada sesak, tidak ada nyeri tenggorokan, tidak ada bantuk. Karena memang Covid-19 ini penyakit seribu wajah. Ada yang tidak demam tapi swab nya positif, bahkan ada yang tidak bergejala namun swab nya positif. Tergantung dimana virusnya nempel di reseptor. Jika virusnya nempel di mata maka gejalanya ada di sekitar mata, jika ada di tenggorokan maka aka nada gangguan pernafasan, jika di sistem pencermaan maka akan muncul mual muntah dll,” terangnya.

Baca Juga :   Jauri, dari Buruh Tani Kini Jabat Kades Keting

Dokter Galih menyadari memang sulit untuk menegakkan diagnosis karena Covid-19 ini seribu wajah. Terkadang meskipun rapid non reaktif, namun swab nya positif akan sering terjadi. “Saat itu rapid test saya non reaktif, kemungkinan saat itu tubuh saya belum membentuk antibody yang sempurna sehingga belum bisa terdeteksi reaktif oleh rapid-test. Namun setelah diswab hasilnya positif,” paparnya.

Menurut dr. Galih, Covid-19 ini bukan merupakan penyakit sosial. Ini merupakan penyakit infeksius yang bisa menyerang siapa saja. Dan, resiko tinggi ada di tenaga medis dan beberapa orang yang sering kontak dengan banyak orang. Masyarakat juga jangan menganggap ini penyakit stigma sosial. Jangan takut untuk terdiagnosa Covid-19 apabila sakit. Ikutilah alurnya, ikuti sesuai anjuran dokter yang memeriksa. Jika terdiagnosa Covid-19 lebih dini, maka terapi dan harapan hidupnya lebih bagus, daripada takut dan menolak diperiksa. “Karena ini era pandemic, maka jika merasa sakit anggaplah itu Covid-19 agar bisa segera diperiksa sejak dini,” pintanya.

Dirinya ikut prihatin karena banyak masyarakat yang memperlakukan pasien Covid-19 dengan stigma negatif yang berlebihan. Seperti menjauhi, mendiskriminasi dan mengisolasi keluarganya.

Menurut dr. Galih hal ini sangat tidak tepat, justru pasien harus diberikan support semangat dan didukung untuk sembuh. “Meskipun saya tidak mengalami stigma negatif ini, namun saya merinding membaca banyak pasien lain yang diperlakukan dengan stigma negative dari masyarakat. Perlakuan stigma negatif dari masyarakat inilah yang membuat seseorang enggan periksa dan takut jika terdiagnosa Covid-19,” tegasnya.

Bupati Djoko Nugroho selaku Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 Kabupaten Blora, memimpin pelaksanaan konferensi pers terkait perkembangan persebaran virus Corona. Yang diikuti oleh Plt. Kepala Dinas Kesehatan, Lilik Hernanto, SKM, M.Kes, dan salah satu tenaga medis RSUD Blora yang baru sembuh dari Covid-19, dr. Galih Puspitasari. Foto/dok.Humas Pemkab Blora

Setelah selesai rawat inap selama 11 hari, dirinya menjalani isolasi mandiri minimal 14 hari di rumah sampai dinyatakan hasil swabnya negative sebanyak dua kali berturut-turut untuk sembuh total. Sedangkan total swab test yang dijalani selama 67 hari adalah 10 kali swab. Sempat ada perasaan kok tidak sembuh-sembuh. “Tapi ternyata setelah saya baca teori, kemungkinan masih ada badan virus mati yang masih tersisa dalam tubuh. Sehingga harus tetap mematuhi protokol kesehatan sampai swabnya dinyatakan negatif dua kali berturut turut. Alhamdulillah 16 Juni kemarin swab saya sudah dua kali hasilnya negatif sehingga dinyatakan sembuh,” paparnya.

Baca Juga :   Tinggi, Sebaran Corona untuk Tiga Kecamatan di Bojonegoro Ini

Kepada masyarakat, dr Galih berpesan agar masyarakat dalam setiap menghadapi masalah agar tetap tenang dan tidak panik. Menurutnya pandemic ini adalah masalah bersama sehingga perlu dilawan bersama. “Jangan panik, jika panik akan mudah terprovokasi. Hadapi dengan tenang dan cemerlang. Jika membaca berita jangan mudah percaya, cari sumbernya dengan jelas. Jika memang kena Covid-19 tolong tetap sabar dan ridho atas ketetapannya. Saya pun sakit karena ketetapan Allah SWT. Sehingga harus ikhlas, hadapi dengan baik, life must go on,” pintanya.

Dokter Galih menegaskan bahwa Covid-19 ini bisa disembuhkan. Nyatanya dirinya sembuh setelah menjalani sejumlah tahapan isolasi diri. “Kenapa kok banyak yang meninggal? Itu karena ada penyakit penyerta lain. Penyakit penyerta inilah yang mudah menurunkan sistem imun atau kekebalan tubuh. Jadi untuk melawan virus yang termasuk baru di dunia ini butuh sel imun yang extra. Itulah mengapa banyak yang meninggal karena imunitasnya turun oleh adanya penyakit penyerta lainnya,” jelasnya.

Ditegaskan dr Galih, bahwa Covid-19 ini nyata adanya, bukan sekadar berita dan tulisan. Sehingga masyarakat diminta untuk tetap waspada. Bagi masyarakat tetap tenang, jangan panik, hadapi pemberitaan dengan cerdas. Lalu dalam era new normal ini, jangan hidup dalam keterlarutan kesedihan. Artinya di tengah pandemic harus tetap beraktifitas apapun yang bisa dilakukan dalam new normal. “New normal bukan berarti sudah normal, melainkan hidup di kehidupan dengan tatanan norma yang baru, yakni pakai masker, cuci tangan pakai sabun, jaga jarak, physical dan social distancing, olahraga, diet gizi seimbang, istirahat cukup dan kelola stress dengan baik. Stress ini bisa menurunkan imunitas,” tambahnya.

Jika tidak ada kepentingan mendesak, dirinya meminta agar masyarakat tetap stay at home, khususnya untuk lanjut usia dan anak-anak. “Tetap optimis, dan semangat, semoga semua pasien segera sembuh,” imbuhnya menutup testimoninya.

Penulis :  Ais

Editor  : Sujatmiko

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *