damarinfo.com Bojonegoro kembali mengusung target besar: menurunkan angka kemiskinan hingga 8,98% di tahun 2026. Optimisme ini ditegaskan kembali oleh Wakil Bupati Nurul Azizah, dalam rapat tim koordinasi penanggulangan kemiskinan. Pemerintah pun percaya diri bisa memangkas kemiskinan lebih dari 2,7% poin dalam dua tahun.
Target ini bukan sekadar wacana, melainkan telah masuk resmi ke dalam Rancangan KUA-PPAS Perubahan 2025 dan dipatok sebagai salah satu sasaran utama dalam Rancangan RPJMD 2025–2029. Pemerintah daerah tampak ingin memulai langkah dengan gebrakan besar di tahun pertama kepemimpinan
Di atas meja rapat, target ini terdengar meyakinkan. Tapi seperti kita tahu, kenyataan di lapangan sering kali lebih keras dari pidato dan power point. Pertanyaannya: mungkinkah target ini tercapai?
Penurunan Pelan, Bukan Sprint Kemiskinan
Ibarat sepeda ontel yang digowes pelan di jalanan bergelombang, angka kemiskinan di Bojonegoro memang turun… tapi perlahan. Sepanjang satu dekade terakhir, penurunan rata-rata hanya 0,5%–0,8% poin per tahun. Bahkan di beberapa tahun, kemiskinan malah naik gara-gara badai pandemi.
Kini, Pemkab menargetkan penurunan 1,3% poin hanya dalam setahun, dengan sisa waktu efektif lima bulan di 2025. Sulit rasanya membayangkan sepeda ontel yang biasa jalan santai, tiba-tiba bisa ngebut bak motor balap.
Inflasi dan Garis Kemiskinan: Seperti Ombak yang Tak Pernah Reda
Kita hidup di zaman ketika harga kebutuhan pokok bergerak seperti ombak — kadang naik, kadang… lebih naik lagi. Bojonegoro mencatat inflasi 4,58% di 2024, tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Akibatnya, garis kemiskinan terus merangkak naik. Dan ketika harga pokok melambung, warga yang nyaris miskin bisa terdorong ke bawah garis, hanya karena harga beras yang naik seribu rupiah.
Mengandalkan bansos saja jelas tidak cukup. Seperti mencoba menimba air di perahu bocor, kalau yang ditambal cuma lubang kecil sementara lubang besar dibiarkan, perahu tetap akan tenggelam.
Program Banyak, Tapi Waktu Tidak Bisa Diperpanjang
Bojonegoro punya sederet program yang namanya cukup keren:
-
KUSUMO (Kunjungan Kasih),
-
Darsila (Makan Dua Kali Sehari untuk Lansia),
-
GAYATRI (Gerakan Ayam Petelur Mandiri),
-
KOLEGA (Kolam Lele Keluarga),
-
dan berbagai program lainnya.
Di atas kertas, program-program ini ibarat benih yang disemai. Tapi siapa pun tahu, benih tidak tumbuh dalam semalam. Apalagi jika programnya baru mulai dikampanyekan di pertengahan tahun, lalu berharap panen sebelum tahun berganti.
Seperti petani yang menabur bibit di musim kemarau dan berharap panen esok hari — optimis boleh, tapi jangan sampai jadi mimpi kosong.
Lima Bulan Sebelum 2025 Berakhir: Waktu atau Sekadar Formalitas?
Fakta yang tak bisa dibantah: Pemerintah baru Bojonegoro hanya punya lima bulan efektif di 2025 sebelum target angka kemiskinan pertama harus dikejar. Waktu yang sempit ini mestinya menyadarkan kita semua bahwa perang melawan kemiskinan bukan lomba lari jarak pendek.
Sayangnya, jika pola lama berulang — program berjalan setengah hati, pendataan carut marut, dan evaluasi minim — maka target ini tak lebih dari angka indah dalam dokumen RPJMD.
Bukan Sekadar Janji, Tapi Aksi yang Terukur
Bojonegoro harus lebih dari sekadar pembuat janji. Jika ingin benar-benar menurunkan angka kemiskinan, Pemkab perlu:
-
Menggerakkan padat karya skala besar yang berdampak langsung ke pendapatan harian
-
Mengendalikan harga pasar, bukan sekadar operasi pasar insidental
-
Validasi data penerima manfaat yang bersih dan terbuka untuk publik
-
Melibatkan masyarakat dalam pengawasan, bukan hanya pelengkap acara seremonial
Karena menurunkan kemiskinan bukan soal siapa yang berani menulis target paling rendah, tapi siapa yang benar-benar berani turun ke lapangan dan berhadapan dengan kenyataan.
Akhir Kata: Bojonegoro Butuh Bukti, Bukan Janji
Kemiskinan itu nyata. Ia ada di perut yang lapar, di ibu yang bingung menyekolahkan anaknya, dan di bapak yang pulang dengan tangan kosong dari ladang. Jika pemerintah serius, maka masyarakat pun pasti akan mendukung. Tapi jika janji tinggal janji, maka jangan salahkan rakyat jika mulai berhenti percaya.
Karena kemiskinan tak akan hilang dengan kata-kata, tapi dengan kerja nyata yang konsisten.
Penulis : Syafik
Sumber data : BPS Jawa Timur, BPS Bojonegoro