Surat Redaksi
Temuan BPK, Perkara Administratif atau Pidana?

oleh -
oleh
(Grafis :LHP BPK Perkara Administrasi atau Hukum. Editor : Kholik)

“….Merekomendasikan kepada Bupati Bojonegoro antara lain agar : Memerintahkan kepada Kepala DPKP-CK untuk memproses kelebihan pembayaran dan menyetorkan ke kas daerah sebesar Rp. 237.843.884,08….” itu adalah sah satu petikan dari Laporan Hasil Pemeriksan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Bojonegoro tahun 2018, nomor 53.A/LHP/XVIII.SBY/05/2019 dan nomor 53.B/LHP/XVIII.SBY/05/2019 tertanggal 16 Mei 2019. Dan ada banyak temuan BPK yang tentu memberikan rekomendasi untuk dilaksanakan oleh Bupati Bojonegoro atas LHP BPK tersebut.

Temuan-temuan tersebut didasarkan pada pemeriksaan LKPD baik secara administrasi maupun melalui uji petik atas pekerjaan yang dilaksanakan dalam tahun anggaran tersebut. Dari hasil pemeriksaan itulah BPK menemukan pelanggaran-pelanggaran atas peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tentu ada sanksi yang harus dilaksanakan atas pelanggaran tersebut. Apakah itu pengembalian kelebihan pembayaran atau sanksi administrasi lainnya.

Frasa” kelebihan pembayaran”, ternyata belum serta merta disebut sebagai sebuah kerugian negara, jika selanjutnya ada pengembalian kelebihan bayar dalam waktu 60 hari sejak rekomendasi tersebut disampaikan. Dasarnya adalah pasal 20 ayat 3, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Dan jika menilik ayat 5 dari pasal ini, yang memberikan sanksi administratif bagi pejabat yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bisa dikatakan bahwa hasil pemeriksaan BPK dan kewenangan melakukan pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan pada prinsipnya berada pada ranah hukum administrasi negara (administratif). Sehingga sepanjang rekomendasi BPK terhadap hasil pemeriksaan telah ditindaklanjuti oleh pejabat yang bersangkutan dalam waktu 60 hari, berarti kewajiban administratifnya bagi BPK telah selesai.

Pihak BPK juga tidak perlu lagi melaksanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu atau pemeriksaan investigatif untuk memeriksa kemungkinan adanya tindak pidana korupsi dalam temuan tersebut. Tentunya BPK tidak perlu lagi melaporkan hal itu kepada penegak hukum untuk selanjutnya dilakukan penyidikan (pasal 8 ayat (3), (4) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK).

Baca Juga :   Siapa “Penguasa” Proyek di Bojonegoro Tahun 2022? Tentu bukan dari Bojonegoro

Selanjutnya mari kita tengok undang-undang yang lain. Yakni UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, yaitu pasal 64 ayat (1) disana dikatakan, “Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana”.

Pasal ini terkesan alternatif. Namun dengan adanya sanksi pidana pada pasal ini, maka setiap hasil pemeriksaan (LHP) BPK yang mengandung indikasi merugikan keuangan negara seyogyanya harus dilaporkan ke instansi berwenang (Kejaksaan dan POLRI). Karena untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara itu diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum merupakan wewenang penyidik. Kewenangan BPK hanya pada menetapkan ganti rugi yang merupakan sanksi administrasi. Sementara penegak hukum adalah menemukan adanya perbuatan pidana. Dan untuk selanjutnya memberikan sanksi pidana.

Harifin A. Tumpa (mantan ketua MA) mengatakan “Sekalipun temuan BPK tidak pro yustisia, tapi bersifat administratif, tapi justru di bidang pelanggaran administratif itulah kemungkinan munculnya tindak pidana korupsi. Kalau tidak ada pelanggaran administratif maka tidak ada korupsi. Jadi korupsi itu sumbernya pada administrasi yang tidak tertib.”

Nah kembali ke soal kelebihan pembayaran hasil temuan BPK, pada peristiwa ini terdapat kerugian negara. Yakni timbul atau bertambahnya kewajiban pengeluaran/pembayaran kas negara/daerah yang seharusnya tidak perlu, sehingga memiliki unsur kerugian negara.

Dalam LHP BPK saat ada temuan, maka BPK memberikan rekomendasi kepada Kepala OPD untuk mempertanggungjawabkan kelebihan pembayaran dengan menyetor ke kas negara. Artinya kerugian tersebut nyata dan pasti dapat dinilai dengan uang (jumlah hasil pemeriksaan).

Hal lain yang ditulis saat ada temuan, bahwa peristiwa tersebut bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan. Dengan kata lain bertentangan dengan hukum atau melawan hukum formil.

Berikutnya siapa yang menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran juga diungkap dengan jelas dalam LHP BPK tersebut. Hal ini terkait dengan unsur perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

Baca Juga :   Rp. 32 Triliun Disedot dari Bojonegoro, Wong  Bojonegoro Uman Opo?

Selanjutnya mari kita simak Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 dan perubahanya pada UU Nomor 20 tahun 2001, pasal 2 dan 3, maka LHP BPK yang telah menyimpulkan berdasarkan bukti bukti dokumen dan keterangan yang dibuat oleh pihak-pihak terperiksa, bahwa

1. Telah terjadi kerugian negara dengan menyebut jumlah kerugian negara

2. Mengungkapkan ketidaksesuaian dengan peraturan perundang-undangan

Maka itu merupakan perbuatan yang menyimpang, maka sebenarnya telah memiliki rumusan yang sejalan dengan unsur-unsur pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sehingga temuan BPK terkait laporan hasil pemeriksaan BPK atas kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dapat ditindaklanjuti oleh penegak hukum untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, terkait adanya perbuatan tindak pidana korupsi.

Namun demikian penerapan ini membutuhkan kearifan dan kebijaksaan oleh penegak hukum dalam praktik di lapangan. Penegak hukum harus melihat konteks kasus yang dihadapinya.

Pertama-tama penegak hukum harus memahami bahwa dalam penanganan perkara korupsi, yang paling utama adalah, bagaimana mengembalikan kerugian negara kepada negara. Penegakan hukum, tentu harus mengedepankan rasa keadilan masyarakat, terutama bagi yang punya kesadaran telah mengembalikan kerugian keuangan negara (restoratif justice). Terutama terkait perkara tindak pidana korupsi yang nilai kerugian keuangan negara relatif kecil dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti.

Instrumen pidana adalah upaya terakhir (ultimum remedium). Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi sebaiknya diprioritaskan pada pengungkapan perkara yang bersifat skala besar. Dilihat dari pelaku dan/atau nilai kerugian keuangan negara dan tindak pidana korupsi yang dilakukan terus menerus atau berkelanjutan, sehingga dapat menimbulkan ketidakkepercayaan masyarakat.

Penulis : Syafik

Editor : Sujatmiko

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *