Berita soal Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) senilai Rp 2,3 triliun dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Bojonegoro tahun 2020 pada pekan ini menyeruak dan ramai. Media pun juga pengamat di Bojonegoro juga seperti berlomba-lomba berkomentar soal tingginya sisa anggaran yang nilainya tertinggi dibanding tiga tahun silam ini.
Munculnya berita soal SiLPA diawali saat Pemerintah Bojonegoro atau eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bojonegoro telah bersepakat terjadi defisit anggaran tahun 2021 sebesar Rp 2,3 Triliiun. Artinya pendapatan Kabupaten Bojonegoro kurang Rp. 2,3 triliun untuk membiayai belanjanya. Untuk menutup defisit ini, eksekutif dan legislatif sepakat menggunakan SiLPA tahun 2020. Kalau dibandingkan, antara SiLPA dan devisit angka tak jauh berbeda.
Eksekutif dan legislatif menanda tangani kesepakatan dalam naskah yang disebut Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) tahun 2021. Naskah resmi ini sebagai rujukan untuk menyusun APBD pada tahun depan.
Sebenarnya soal SiLPA bukan fakta baru baik di Kabupaten Bojonegoro maupun di kabupaten/kota dan provinsi. Pasalnya tidak ada pemerintahan daerah yang mampu membelanjakan anggaran tepat sesuai perencanaan dalam APBD nya. Penyebabnya bisa macam-macam, di antaranya efisiensi anggaran, program yang tidak jadi dilaksanakan dan bisa juga pelampauan pendapatan.
Data SiLPA di Bojonegoro menjadi menarik karena nilainya triliunan rupiah. Bagaimana tidak, untuk sekelas kabupaten/kota, nilai SiLPA bisa mencapai sebanyak itu. Yang jumlahnya lebih besar dari APBD Kabupaten/Kota lain. Ambil saja Kabupaten Sampang, Madura, yang pada tahun 2019 APBD nya Rp 1,970 triliun.(Jawa Timur dalam angka tahun 2020).
SiLPA APBD Kabupaten Bojonegoro mencapai triliunan rupiah sudah mulai terjadi pada APBD tahu 2018 silam, dimana nilainya mencapai Rp 2,01 triliun atau 55 persen dari APBD tahun yang sama sebesar Rp. 3.628 triliun. Dan pada tahun-tahun berikutnya SiLPA terus di atas Rp 2 triliun, Tahun 2019 dengan APBD Rp. 7,1 triliun, SiLPA nya Rp. 2.202 triliun, dan diperkirakan SiLPA tahun 2020 ini mencapai Rp. 2.3 triliun.
Musabab munculnya SiLPA adalah, tidak dapat direalisasikanya rencana belanja yang sudah ditetapkan dalam APBD. Lihat saja APBD tahun 2019 secara keseluruhan dari Jumlah Belanja tahun 2019 sebesar Rp. 7.1 triliun, namun yang dapat direalisasikan adalah Rp. 4.5 triliun atau 64,18 persen, sisa anggaran yang tidak realisasi menjadi SiLPA pada tahun 2019.
Sementara pada tahun anggaran 2018 SiLPA lebih banyak bersumber dari adanya transfer dari pemerintah pusat setelah disahkanya Perda tentang APBD tahun 2019. Hal ini dapat dilihat dari serapan anggaran pada tahun tersebut, dari Rencana Belanja sebesar Rp 3,6 triliun, jumlah realisasinya sebanyak Rp. 3, 05 triiiun atau 85,03 persen.
Dari sudut regulasi, tidak ada yang dilanggar dengan tingginya SiLPA ini, dan memang dimungkinkan untuk menjadi sumber pembiayaan dalam menutup defisit anggaran. Tengok saja Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah pasal 84 ayat 1 yang menyebutkan dalam hal APBD diperkirakan defisit, pembiayaannya bisa bersumber dari SiLPA.
Pertanyaanya siapa yang rugi dari tingginya SiLPA ini?
Perlu analisa lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini bisa dirunut dari sumber SiLPA dimaksud. Sisa anggaran terjadi karena tidak dapat direalisasikanya rencana belanja. Penyebabnya bisa banyak. Bisa jadi karena ada efisiensi seperti yang disampaikan oleh Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Bojonegoro Nurul Azizah. Efisiensi artinya jumlah anggaran yang dikeluarkan lebih sedikit dari anggaran yang disediakan, sehingga munculah sisa anggaran.
Contohnya Rencana Anggaran untuk perjalanan dinas, rapat-rapat diluar kantor, kunjungan kerja keluar daerah, pada tahun 2020 karena ada pandemi covid-19 maka tidak dapat direalisasikan, tetapi program rapat tetap dijalankan tetapi dilingkunan kantor Pemkab saja.
Atau seperti pada tahun angggaran 2019 dalam Laproan Keuangan Daerah tahun 2019, Pemkab Bojonegoro menyampaikan kendala tidak tercapainya target realisasi belanja selain karena efisiensi anggaran, juga karena gagal lelang. Ada juga karena sisa tender, putus kontrak pekerjaan.
Penyebab lain adalah, tidak dilaksanakannya paket kegiatan atau pekerjaan yang dibayarkan sesuai progres kemajuan fisik karena pekerjaan tidak selesai 100 persen. Juga karena adanya penundaan pembayaran (kurang bayar) karena diberikan kesempatan 50 hari kalender agar pekerjaan selesai.
Selain itu adanya tambahan anggaran pada P-APBD tetapi tidak dapat terealisasi seluruhnya dikarenakan waktu yang tidak mencukupi untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut sehingga beberapa kegiatan diajukan kembali anggarannya untuk dikerjakan pada tahun anggaran 2020.
Nah, jika SiLPA karena efisiensi, tentu tidak ada yang dirugikan. Malah ini keberhasilan karena ada pengematan dalam penggunaan anggaran. Bagaimana jika SiLPA muncul karena tidak dilaksanakanya program yang berkaitan dengan pelayanan publik?
Tentu hal ini merugikan masyarakat sebagai penikmat hasil pembangunan. Pembangunan Gedung Sekolah misalnya, jika tidak terlaksana maka kenyamanan anak didik untuk mengikuti proses belajar mengajar harus tertunda. Atau bantuan untuk petani, seharusnya sudah bisa membantu menerunkan biaya produksi yang bisa meningkatkan pendapatan, harus tertunda karena tidak terlaskana.
Tidak terlaksananya program juga bisa jadi disebabkan karena ketidak capakan SKPD dalam merealisasikan atau bahkan pada saat perencanaan. Atau bisa disebabkan cari “aman” dari jeratan pidana jika dirasa program tersebut tetap dilaksanakan sementara masih ada dasar hukum lain yang diperlukan.
Namun yang paling disesalkan oleh anggota Badan Anggaran DPRD adalah jika program yang sudah dipasang di APBD sengaja tidak dilaksanakan untuk dijadikan SiLPA. Tujuannya dalam rangka untuk menjaga neraca keuangan pada tahun anggaran berikutnya, dengan mengorbankan kepentingan masyarakat.
Nah, untuk SiLPA karena ada lampauan pendapatan karena transfer dari pemerintah pusat dilakukan setelah penetapan KUA PPAS maka itu tidak bisa dihindari menjadi SiLPA.
Jadi menentukan siapa yang rugi jika SiLPA tinggi tergantung dari sumber dana SiLPA itu. Efesiensikah, atau karena program yang memang tidak mampu direalisasikan.
Harapan bahwa APBD adalah wujud dari program yang direncanakan untuk masyarakat sedapat mungkin dapat dilaksanakan. Apalagi jika sengaja di-SiLPA-kan yang merugikan kepentingan masyarakat sebagai sasaran pembangunan
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko