“Wong Bojonegoro Uman Opo?” kalau di terjemahkan dalam Bahasa Indonesia “Orang Bojonegoro Kebagian Apa?”. Sudah semestinya orang Bojonegoro bertanya soal itu, karena mereka adalah pemilik sah kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) di Bojonegoro.
Jika kita kembali kepada zaman saat bangsa Indonesia ini dijajah, pertanyaanya kenapa pada zaman penjajahan rakyat terus miskin, sementara para pengusaha dan penguasa pribumi yang bersama-sama kolonial Belanda semakin kaya? Karena semua kekayaan Indonesia dibawa lari ke Belanda, sementara yang tersisa hanya dinikmati oleh para penguasa dan pengusaha pribumi.
Pada zaman Belanda juga ada pembangunan bahkan ada yang sampai sekarang masih kita nikmati, Waduk Pacal, Dam Klepek, Rel Kereta Api dan lain sebagainya.
Itulah kenapa penjajahan harus dihapuskan karena tidak berpihak pada rakyat Indonesia, tidak berpihak untuk mengentaskan kemiskinan, tidak berpihak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Mungkin terlalu berlebihan jika membandingkan zaman penjajahan dengan zaman sekarang yang sudah merdeka. Namun ada hal yang tidak jauh berbeda jika menengok kondisi di Bojonegoro saat ini. Kekayaan alam Kabupaten Bojonegoro berupa minyak dan gas bumi menjadi andalan Pemerintah Pusat untuk memenuhi kebutuhan nasional, namun hanya kembali 6,5 persen.
Untuk ilustrasi, pada tahun 2021 berdasar data Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) transfer DBH Migas untuk Bojonegoro Rp. 2,1 triliun. Maka jumlah Hasil Migas di Bojonegoro yang dibawa ke Pusat adalah Rp. 32,3 triliun.
Dan ironisnya saat ini, setelah dana dikembalikan dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH) pun sebagian besar tidak beredar di Bojonegoro, karena banyak proyek-proyek besar dikerjakan oleh perusahaan luar Bojonegoro. Belum lagi tidak beredar karena menjadi Sisa Lebih Anggaran Pembiayaan (SiLPA) yang nilainya selalu diatas Rp. 2 triliun.

Jika kita meneliti data dalam laman opentender.net merangkum soal uang kabupaten Bojonegoro yang keluar wilayah Bojonegoro, dari tahun ke tahun anggaran proyek infrastruktur selalu naik, tahun 2019 senilai Rp. 808,87 miliar, tahun 2020 naik menjadi Rp. 877,47 miliar dan tahun 2021 naik lagi menjadi Rp. 1,29 triliun.
Dan selalu 10 proyek dengan kontrak tertinggi dikerjakan oleh kontraktor luar daerah. sebut saja di tahun 2021, hanya delapan kontraktor yang mengerjakan 10 proyek jumbo tersebut dengan total nilai Rp. 602,71 miliar atau 46,86 persen dari seluruh nilai proyek infrastuktur di Bojonegoro. Nilai ini bisa jadi jauh lebih besar jumlahnya karena banyak kontraktor luar daerah yang juga mengerjakan proyek-proyek lain dengan nilai masih di atas Rp 10 miliar. Kondisi tahun 2020 dan 2019 tidak jauh beda.

Sementara kontraktor lokal hanya mendapatkan sebagian kecil kue anggaran jumbo yang katanya milik rakyat Bojonegoro ini. Kita tengok lagi data di opentender.net, untuk tahun 2021, dari 10 kontraktor dengan jumlah kontrak terbanyak hanya mendapatkan Rp 33.634.660.536, atau hanya 5,6 persen dari nilai kontrak yang didapat oleh delapan kontraktor yang mengerjakan proyek dengan nilai kontrak tertinggi.
Meski perlu dianalisas lebih jauh soal ini, tetapi ini sudah cukup memberikan gambaran bahwa banyak dana yang keluar Bojonegoro, sehingga menjadi masuk akal jika pertumbuhan ekonomi di Bojonegoro belum mampu naik secara signifikan dibanding dengan besarnya APBD yang dimiliki Bojonegoro. Meski ini bukan satu-satunya penyebab.
Semestinya Pemerintah Kabupaten Bojonegoro memberikan perlindungan dan pembinaan untuk kontraktor daerah. Tujuannya agar kontraktor daerah mempunyai kemampuan dalam mengerjakan proyek-proyek jumbo tersebut. Jika mereka harus bertarung bebas dengan kontraktor luar daerah yang memang sudah kelas Nasional seperit membiarkan “harimau bertarung melawan kucing”, semestinya harimau diberikan makanan sendiri dan kucing dilatih untuk bisa berperilaku seperti harimau. Tujuan akhirnya adalah agar para kontraktor lokal dapat mengerjakan proyek-proyek besar dan dana APBD tidak keluar Bojonegoro, yang pada akhirnya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.
Pasalnya salah satu tujuan APBD adalah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat daerah, itu inti dari otonomi daerah. Bukan primordial tapi melindungi kepentingan daerah juga menjadi tujuan sebuah pemerintah daerah dibentuk.
Kuncinya adalah komunikasi yang baik antara pemerintah kabupaten dengan asosiasi-asosiasi pengusaha konstruksi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan mencari solusi yang terbaik untuk kepentingan bersama. Pembangunan tetap terlaksana dan para pengusaha daerah dapat menikmati kue yang lebih besar yang berimbas pada perekonomian daerah.
“Wong Bojonegoro uman opo?….”
penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko