Merujuk data dari Dinas Pemberdayaan Masyarat dan Desa (DPMD) Bojonegoro, terdapat 482 kursi perangkat kosong. Dari jumlah tersebut terdapat 185 untuk jabatan sekretaris desa, atau biasa disebut carik. Untuk proses pengisian perangkat desa ini diserahkan sepenuhnya kepada desa.
“Orang dalem, Menang Kerabat Pejabat Desa” itu salah satu balasan dari postingan dari Pemerintah Kabupaten Bojonegoro tentang pengisian kekosongan perangkat desa di akun instagramnya Pemkab Bojonegoro @pemkabbojonegoro, tertanggal Jum’at 24 Juli 2020 (Akun instagram diakses pada tanggal 26-7-2020, pukul 23.17). Dan masih banyak balasan bernada hampir sama.
Pernyataan itu bisa jadi gambaran nyata yang terjadi selama ini. Musababnya adalah, kepala desa diberikan kewenangan penuh mengelola desanya, termasuk urusan perekrutan perangkat desa. Ini terjadi sejak negara memberlakukan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, (pasal 26 ayat 2 huruf b).
Padahal terdapat sejumlah peraturan yang membatasi kewenangan kepala desa dalam pengisian perangkat desa. Seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas PP Nomor 43 tahun 2014, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 67 tahun 2017 tentang perubahan atas Permendagri nomor 83 tahun 2015 dan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bojonegoro Nomor 4 tahun 2019 tentang perubahan atas Perda Kabupaten Bojonegoro Nomor 1 tahun 2017. Namun celah aturan itu tetap saja bisa “dimainkan” oleh pejabat yang dipilih oleh warganya setiap enam tahun sekali itu.
Soal pengisian perangkat desa melalui mutasi (pasal 7 ayat 4, Permendagri nomor 67 tahun 2017) menjadi rawan untuk dijadikan ajang transaksi. Setidaknya antara kepala desa dengan para perangkatnya yang berkeinginan mengisi kekosongan. Jabatan carik, misalnya.
Padahal tidak ada syarat khusus dalam mutasi ini. Seperti pada pasal 29A ayat 4 sampai 9 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bojoengoro Nomor 4 Tahun 2019, prosedurnya sangat sederhana. Yakni kepala desa sebelum menetapkan mutasi terlebih dahulu dikonsultasikan dengan camat. Dan setelah mendapatkan rekomendasi persetujuan maka mutasi tersebut dapat ditetapkan oleh kepala desa. Atau jika camat tidak memberikan rekomendasi selama tujuh hari maka calon yang bersangkutan dapat ditetapkan oleh Kepala Desa.
Dan menaiknya aturan teknis pelaksanaan dalam Peraturan Bupati untuk pengisian kekosongan perarangkat desa melalui mutasi, masih dalam proses pengajuan kepada Bupati Bojonegoro, padahal beberapa desa telah melaksanakan pengisian kekosongan perangkat desa ini melalui mutas.
Fakta di lapangan ketika kepala desa tidak terpilih pada pemilihan berikutnya dan waktu jabatanya sudah habis, maka dengan tergesa-gesa mereka melakukan mutasi untuk mendapatkan “balen” (mengembalikan uang yang dikeluarkan untuk pemilihan kepala desa). Jika itu tidak dilakukan oleh sang mantan, maka kepala desa yang baru segera melakukan itu dengan tujuan yang sama tentunya.
Pun juga pengisian kekosongan perangkat desa melalui seleksi, masih terdapat celah yang bisa dijadikan bahan transaksi. Mulai dari pembentukan tim, tentu seolah hal ini transparan karena harus didasarkan pada hasil musyawarah desa. Namun nyatanya dalam beberapa kasus yang jadi tim adalah “wonge” kepala desa (orang-orangnya yang mendukung pada saat pencalonan).
Pada tahap berikutnya adalah “permainan” antara pendamping pembuatan soal dengan tim pengisian perangkat. Memang peraturan daerah mengharuskan Tim Pengisian Perangakat Desa menggandeng peruguruan tinggi/universitas yang terakredasi B. Nah disinilah celahnya. Yaitu dalam menentukan menentukan perguruan tinggi ini bisa terjadi transaksi antara tim pengisian yang sudah wonge kepala desa tersebut terjadi. Bisa dalam bentuk jawaban atau kisi-kisi soal yang akan diujikan dan akan dberikan kepada “calon” yang sudah disiapkan oleh kepala desa.
Transaksi pengisian perangkat desa ini muncul karena soal ekonomi, sosial dan politik. Dari sisi ekonomi hitungannya sangat sederhana. Berapa yang dikeluarkan dibandingkan dengan jumlah yang akan diperoleh.
Misalnya untuk jabatan carik, berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2019 pasal 81, pendapatan minimal Rp. 2.224.420,- dalam setahun maka carik minimal akan mendapatkan Rp. 26.693.040. Jika saat menjadi carik usianya 30 tahun, maka selama 30 tahun (masa jabatan sampai umur 60 tahun) Si Carik akan mendapatkan minimal sekali lagi minimal Rp. 800.791.200. Tentu saja penghasilan ini belum ditambah yang lainnya.
Maka ketika sesorang ingin menjadi carik dan harus mengeluarkan uang Rp. 300 – 500 juta, tentu tidak masalah. “Isih nyucuk (masih untung)” demikian kalimat kiasan yang kerap diungkap. Untuk jabatan perangkat lain nilainya tidak jauh dari yang didapat oleh carik.
Faktor sosial juga menjadi salah satu faktor menjamurnya praktik kolusi dan nepotisme dalam pengisian perangkat desa. Pasalnya jabatan perangkat desa masih dianggap sebagai status sosial yang prestisius di desa. Sehingga untuk sebagian orang, berapapun akan disiapkan untuk mendapatkan jabatan tersebut.
Sisi politik menjadi faktor yang lain, yakni balas jasa kepada orang yang ikut mensukseskan terpilihnya kepala desa. Salah satu bentuknya adalah orang yang berkinginan menjadikan perangkat desa (Biasanya anaknya atau anggota keluarga lain) memberikan sejumlah dana kepada calon kepala desa. Tentu dengan janji setelah berhasil maka akan memberikan jabatan perangkat desa kepada orang tersebut.
Tentu hasil ini tidak dinikmati oleh kepala desa saja, karena banyak pejabat desa lain yang terlibat. Sehingga pengisian perangkat desa biasa disebut sebagai “bancaan” (pesta) nya para pejabat desa.
Praktik seperti ini tentu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jelas dikhawatirkan menghadirkan perangkat desa yang tidak cakap. Padahal masyarakat butuh mendapat pelayanan yang prima seperti harapan undang-undang.
Pengawasan dari masyarakat menjadi penting untuk dilaksanakan. Sayangnya praktiknya perasaan ewuh pakewuh menjadi hal yang masih melekat di masyarakat. Akibatnya hubungan antar tetangga menjadi tidak nyaman. Tentu hal ini menjadi pertimbangan lebih penting untuk masyarakat daripada melaporkan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi pada pengisian perangkat desa.
Secara politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bisa menjadi lembaga pengawas untukpelaksanaan peraturan daerah yang sudah dibuatnya. Untuk memastikan pelaksanaan Peraturan yang dibuat dengan biaya dari uang rakyat tersebut dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.
Harapan terakhir adalah kepada aparat penegak hukum untuk mengawasi proses pengisian perangkat desa. Yaitu memerangi praktik transaksi uang dalam pengisian perangkat. Karena dengan cara tegas, akan banyak lahir perangkat desa yang profesional dalam melayani kepentingan masyarakat
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko