“Enek tembak-tembakan ning Mabes.” (ada tembak-menembak di Mabes) Begitu status kawan di grup whatsapp Rabu 31-3-2020, pukul 17.01. Padahal kejadian tersebut terjadi pukul 16.30 an.
Beberapa saat kemudian, kawan-kawan di group-group whatsapp seperti berlomba-lomba membagikan konten soal peristiw di Markas Besar Kepolisian RI di kawasan Jalan Trunojoyo Nomor 3 Jakarta Selatan ini. Tampilan kiriman juga bermacam ragam. Dari mulai berita, link live streaming tv, bahkan video peristiwa tembak menembak tersebar. Berikut identitas pelakunya dipaparkan di media sosial. Meluasnya berita peristiwa tembak-menembak ini tidak butuh dalam hitungan jam atau menit, karena tersuguh secara langsung. Dan biasanya pemberitaan soal peristiwa seperti ini akan berlangsung panjang dan lama, bisa berhari-hari.
Dampaknya ke masyarakat dari pemberitaan aksi teror pasitnya ada dampak negatifnya. Buktinya Polri beberapa waktu lalu melalui akun instagram dan media sosial lainnya menghimbau kepada masyarakat untuk tidak menyebar luaskan foto atau video terkait pengeboman di Gereja Katedral di Makassar, Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu. Alasannya adalah agar tidak menimbulkan ketakutan di masyarakat sehingga tujuan dari teroris berhasil.
Ternyata jika kita telusuri di zaman kolonial Belanda sudah terjadi aksi teror yang dilakukan oleh teroris. Tentu dengan definisi teroris versi penjajah, yang menyasar para pejuang kemerdekaan saat itu. Kaitan dengan pemberitaan peristiwa teroris, dengan hanya menyampaikan peristiwanya saja dan tidak detail. Misalnya, tanpa menyebutkan siapa pemimpinnya, berapa korban jiwanya, bagaimana aksi para “teroris” itu beraksi dan lainnya. Media massa dimanfaatkan untuk meredam dampak buruk dari aksi teror itu.
Alasannya, “Hal ini bertujuan untuk meredam efek dari perang dan kerusuhan yang terjadi tersebut, sehingga masyarakat Eropa dan pribumi, yang berada di luar wilayah terjadinya perang dan kerusuhan, tidak terlalu merasakan efek dari perang tersebut” Tulis John Nedy Kambang, Rahmi Surya Dewi, Ernita Arief dari Jurusan Komunikasi Universitas Andalas Sumatera Barat dalam Jurnal Ranah Komunikasi Volume 4 nomor 1 tahun 2020.
Para penulis tersebut mencontohkan, dalam surat kabar De Sumatera Post, terbitan 11 Mei 1928 yang berisikan berita mengenai penangkapan ekstrimis yang melakukan aksi teror pasca pemberontakan Silungkang Sumatera Barat pada tahun 1927. Dalam serangkaian pemberitaan mengenai itu, aksi yang terjadi tidak terlihat menakutkan dan berbahaya. Padahal dalam buku karangan Audrey Kahin, “Dari Pemberontakan Ke Integrasi”, digambarkan mengenai alotnya pertempuran yang terjadi antara pemerintah kolonial dengan pemberontak pada saat itu. Banyak orang yang terbunuh dalam aksi tersebut.
Peristiwa lain yang juga diberitakan dengan landai dan datar padahal peristiwanya lebih mengerikan adalah, peristiwa yang terjadi pada masa revolusi. Dalam laporan surat kabar De Vrije Pers dan De Volksrant pada Februari 1946, setelah orang Eropa dan sebagian orang Indo-Eropa dipindahkan dari Pekanbaru ke Padang untuk kemudian dievakuasi ke Batavia, bangsa Tionghoa, India dan pribumi yang menjadi sasaran kekerasan, menyurati komandan pasukan Belanda saat itu yang berada di Padang, Sumatera Barat, untuk meminta bantuan, karena telah terjadi aksi teror oleh kelompok bersenjata yang mengaku dirinya kelompok republikeun di wilayah kediaman mereka.
Padahal menurut laporan NEFIS, lembaga intelijen Belanda saat itu, terjadi aksi teror yang mengerikan di beberapa wilayah hunian Tionghoa tersebut. Kelompok tersebut menjarah semua barang yang mereka miliki secara paksa dan dengan kekerasan. Perempuan bahkan diculik untuk diperkosa dan kemudian dibunuh. Di wilayah Jambi tidak jauh berbeda. Setelah orang Eropa selesai dievakuasi ke Padang dan Palembang pada tahun 1946, terjadi teror mengerikan terhadap sisa orang Indo-Eropa, orang Tionghoa, India dan masyarakat pribumi. Permukiman masyarakat yang berada di satu wilayah dengan orang Eropa, dan merupakan distrik bisnis di Jambi kemudian dibakar oleh kelompok pejuang revolusi yang pada saat itu terdiri dari orang komunis dan tentara berseragam. Lebih dari 2/3 wilayah sentra bisnis tersebut hangus dibakar. Hunian orang Eropa, Tionghoa, India dan masyarakat lokal hancur total. Sekitar 7000 orang Tionghoa, 500 orang India, dan puluhan masyarakat lokal kehilangan tempat tinggal.
Tentu karena pada saat penjajahan media massa sangat terbatas, sehingga dapat dengan mudah untuk dikendalikan demi kepentingan penjajah kolonial. Sementara saat ini masyarakat mendapatkan kemudahan untuk mengakses informasi dari banyak sumber. Tidak hanya media mainstream saja namun juga media sosial. Pemerintah pun tak mampu dan tak boleh membatasi apalagi mengendalikan media massa sehingga dampak buruk yang terjadi atas pemberitaan terorisme tidak lagi bisa dikendalikan oleh pemerintah. Maksimal yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah menghimbau.
Soal pemberitaan teroris, ada pandangan menarik dari anggota Dewan Pers Sinyo Harry (SH) Sarundajang. Sebagaimana dikuti tulisannya di website dewan pers menyebutkan, “Bagi teroris, mendapat perhatian dari media berita, publik, dan otoritas pemerintah tidaklah cukup. Mereka biasanya berniat untuk mempublikasikan alasan politik mereka dan bergantung pada media massa untuk menjelaskan dan mendiskusikan alasan mereka untuk beralih ke kekerasan. Latihan dalam komunikasi strategis atau diplomasi publik ini dirancang untuk menginformasikan dan mendidik kawan dan lawan tentang motif tindakan teroris. Agar hal ini terjadi, pelaku terorisme tidak perlu melakukan penjelasan sendiri, medialah yang akan melakukannya untuk mereka”
Dalam penutup tulisanya SH Sarundajang mengatakan “Dengan memahami sentralitas media dan teknologi komunikasi yang merupakan aspek terpenting dalam kontra terorisme, media tradisional sebagai gatekeepers memiliki tanggung jawab khusus untuk menerapkan pengaruhnya secara hati-hati dengan dipandu oleh standart jurnalistik tertinggi. Raja media yang terkenal Rupert Murdoch pernah menyampaikan “Great journalism will always attract readers. The words, pictures, and graphics that are the stuff of journalism have to be brilliantly package; they must feed the mind and move the heart. (Jurnalisme yang hebat akan selalu menarik para pembacanya. Perkataan, gambar, dan grafis adalah perangkat jurnalisme yang harus secara cerdas dikemas; perangkat tersebut harus mengisi pikiran dan menggugah hati)”
Tentu karena pada saat penjajahan media massa sangat terbatas, sehingga dapat dengan mudah untuk dikendalikan demi kepentingan penjajah kolonial. Sementara saat ini masyarakat mendapatkan kemudahan untuk mengakses informasi dari banyak sumber, tidak hanya media mainstream saja namun juga media sosial. Pemerintah pun tak mampu dan tak boleh membatasi apalagi mengendalikan media massa sehingga dampak buruk yang terjadi atas pemberitaan terorisme tidak lagi bisa dikendalikan oleh pemerintah. Maksimal yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah menghimbau.
Tentu semua informasi dan pemberitaan itu harus kita sikapi dengan jernih. kedewasaan dan kehati-hatian masyarakat dalam menerima informasi soal terorisme ini menjadi bagian penting agar dampak buruk pemberitaan itu tidak semakin meluas. Nah disinilah peran pemerintah memberikan edukasi dan pemahaman yang benar soal isu terorisme dan bagaimana bijak dalam bermedia.
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko