“Alangkah beruntungnya penguasa bila rakyatnya tidak bisa berpikir” Adolf Hitler
Bojonegoro menjadi salah satu Kabupaten penghasil Minyak dan Gas terbesar di Indonesia, sumbangannya terhadap kebutuhan minyak nasional mencapai 20 persen hingga 25 persen. Sebagai kabupaten penghasil pemerintah memberikan hak-hak istimewa misalnya dengan diberikannya Dana Bagi Hasil (DBH) Migas yang besarnya 6,5 persen dari total pendapatan dari migas di Bojonegoro. Hak Istimewa lain adalah hak keikutsertaan dalam pengelolaan migas dengan diberikannya hak Participating Interest (PI) atau penyertaan modal sebesar 10 persen.
PI diberikan dengan tujuan agar Pemerintah Daerah (Pemda) mendapatkan pendapatan langsung dari pengelolaan sumur minyak dan gas di daerah penghasil. Bentuknya pembagian keuntungan yang diterima akan menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Bojonegoro dalam pengelolaan Blok Cepu mengambil hak PI tersebut melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT. Asri Dharma Sejahtera (ADS) dan bekerja sama dengan PT. Surya Energi Raya (SER). Sayangnya skema pembagian keuntungan dianggap tidak menguntungkan untuk Bojonegoro, yakni PT. SER 75 persen sementara PT. ADS hanya 25 persen.

Upaya untuk menggugat skema pembagian keuntungan itu sudah dilaksanakan baik secara politik di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun secara hukum di Pengadilan Negeri Bojonegoro, Bahkan sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, namun rupanya semua kandas, perjanjian tersebut tetap saja harus dijalankan bahkan setelah modal dari PT. SER dikembalikan utuh, skema pembagian itu tetap harus dijalankan.
Entah karena perhitungan bisnis yang matang atau karena kedunguan (meminjam kata yang sering dipakai Rocky Gerung), saat pemerintah memutuskan untuk mengelola Gas di Blok Cepu dalam proyek unitisasi Jambaran Tiung Biru (JTB), Bojonegoro memutuskan tidak mengambil hak PI 10 persen dari pengelolaan gas tersebut.

Padahal jika mengacu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 37 tahun 2016, Badan Usaha Milik Daerah tidak perlu menyediakan dana untuk mengambil hak tersebut, karena berdasar pasal 12 ayat 2 pembiayaan PI ditanggung oleh Kontraktor Kontrak Kerjasama (K3S). Akhirnya melayang lah, peluang pendapatan dari PI, JTB tersebut.
Pun dengan pengelolaan Sumur Minyak Kolibri, Bojonegoro juga tidak terlibat dalam pengelolaan sumur minyak baru tersebut. Padahal semestinya juga mendapatkan jatah PI, 10 persen karena berdasar Permen ESDM di atas Kabupaten Bojonegoro mempunyai hak penuh atas PI tersebut. Namun lagi-lagi Bojonegoro memutuskan tidak mengambil hak istimewa tersebut, peluang menambah pendapatan asli daerah pun melayang.
Ya Sudahlah penguasa mungkin punya hitungan dengan nalarnya sendiri berdasar kepentingannya sendiri. Rakyat Bojonegoro yang menjadi pemilik sah kabupaten ini harus mengambil pelajaran dari perjalanan pemerintahan selama ini, siapa yang sebenarnya berpihak pada kepentingan rakyat dan siapa yang hanya berpikir untuk kepentingan kekuasaan belaka.
Penulis : Syafik