Bupati Bojonegoro Anna Muawanah memimpin sendiri Rapat Kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bojonegoro untuk membahas kemiskinan di Bojonegoro. ini bisa jadi bentuk keseriusan Bupati Anna untuk menekan angka kemiskinan di Bojonegoro.
Angka kemiskinan yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Bojonegoro tentu “menyakitkan” Bupati Anna, Bagaimana tidak? belasan program sudah dilaksanakan, ratusan milyar sudah digelontorkan namun angka kemiskinan Bojonegoro naik bahkan masih masuk dalam 11 besar Kabupaten /Kota dengan prosentase kemiskinan terendah di Jawa Timur.
Bupati Anna pun memerintahkan untuk mengumpulkan data kemiskinan mandiri, untuk memastikan seberapa besar sebenarnya kemiskinan di Bojonegoro. Munculah istilah Data Kemiksinan Mandiri atau Damisda.

Sebenarnya kalau Bupati Anna lebih bijak dalam menyikapi data kemiskinan BPS tersebut, akan lebih mudah menyelesaikannya. Caranya gampang, Bupati tinggal meminta kepada BPS Bojonegoro untuk menjelaskan bagaimana angka kemiskinan tersebut muncul, bagaimana metode pengumpulan datanya, apa kriteria kemiskinan yang digunakan. Lalu Bappeda mempertajam dengan melakukan perencaan untuk melakukan intervensi agar angka kemiskinan tersebut menurun.
Karena acuan pembangunan nasional itu data BPS, tidak bisa Bojonegoro melakukan klaim sepihak dengan menerbitkan data mandiri, karena pasti tidak dapat diakui dalam penentuan kebijakan tingkat provinsi maupun nasional.
Jika menilik strategi pengentasan kemiskinan Bojonegoro bisa jadi sudah tepat, yakni pengurangan pengeluaran, peningkatan pendapatan dan Pembangunan Kewilyahan. namun ternyata data BPS berkata lain, artinya ada yang salah dengan pelaksanaan kebijakan tersebut.
Sebuah contoh misalnya, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) daerah, nyatanya bermasalah dalam data penerima manfaat, buktinya menjadi salah satu temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bukti lain adalah data BPS tentang Profil Kemiskinan di Bojonegoro, terdapat penerima manfaat yang tidak dikategorikan masyarakat miskin.

Progam lain misalnya Aladin atau biasa disebut bedah rumah, bisa jadi jumlahnya belum signifikan untuk warga miskin, sehingga harus ditingkatkan jumlahnya. Atau Beasiswa untuk mahasiswa baik scientist atau dua sarjana satu desa atau bea siswa tugas akhir, tentu ini beasiswa ini tidak menyisir sebagian masyarakat miskin di Bojonegoro. Bagaimana masyarakat miskin bisa menyekolahkan anaknya hingga S1 kalau pun toh ada jumlahnya tidak akan banyak. Atau BOS Da untuk madrasah diniyah, berapa nilanya dan berapa penurunan pengeluaran bagi masyarakat miskin? Semestinya dikaji secara komprehensif
Program Petani Mandiri (PPM) bertujuan untuk mengurangi biaya produksi petani yang diharapkan dapat meningkatkan keuntungan, namun lagi-lagi program ini harus terkendala pelaksanaan dilapangan, petani yang miskin bisa jadi tidak termasuk dalam penerima program ini , permasalahanya jumlah lahan petani miskin tidak lebih dari setengah hektar dan terkendala persyaratan untuk mendapatkan PPM atau bahkan mereka hanya petani penggarap.

Tahun 2003-2021, Sumber : Profil Kemiskinan Maret 2021, BPS Bojonegoro)
Soal pembangunan kewilayahan, BKD jalan misalnya seharusnya dapat meningkat perekonomian masyarakat secara langsung dengan melibatkan tenaga kerja lokal, namun yang terjadi di lapangan sangat jarang ditemua masyarkat desa yang terlibat.

Namun sayangnya ada program kewilayahan yang lain tidak dapat dirasionalisasi dapat menurunkan angka kemiskinan, misalnya penambahan modal PDAM. Bagaimana penambahan modal ini dapat menurunkan angka kemiskinan?
Pemkab Bojonegoro juga tidak perlu menklaim program nasional menjadi seolah-olah program kabupaten, misalnya Bendungan Gongseng atau Pendaftara Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Jadi karena acuanya adalah data BPS, maka semestinya Pemkab Bojonegoro membicarakan soal kemiskinan ini dengan BPS untuk mendapatkan data yang lebih akurat. Karena data akurat ini lah yang seharusnya menjadi acuan perencaan program yang tepat untuk penurunan angka kemiskinan di Bojonegoro.
Penulis : Syafik