Damarinfo.com – Apakah mungkin menghadirkan “Malioboro” di Bojonegoro? Jawabanya Mungkin. Alasanya karena Bojonegoro punya uang yang berlimpah lebih dari Rp. 6 triliun, bahkan sisa uangnya setiap tahun lebih dari Rp. 2 triliun.
Jalan Malioboro di Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi salah satu destinasi wisata wajib bagi para pelancong baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Tidak afdhol jika ke jogja (sebutan singkat Yogyakarta) jika tidak berjalan-jalan di Malioboro. Ya, sekedar jalan-jalan, duduk-duduk, naik skuter menikmati udara malam atau udara pagi di Kota dengan tagline “Jogja Istimewa” ini.
Luasnya pedestarian (jalur pejalan kaki) di kanan kiri jalan bahkan melebihi luas jalan untuk kendaraan, pohon-pohon yang rindang, lampu hiasan yang khas jawa, juga jajaran delman di pinggir-pinggir membuat nyaman para penikmat wisata. Ya, sekali lagi hanya sekedar jalan-jalan dan duduk-duduk. Meski pandemi covid-19 telah menurunkan jumlah kunjungan, namun setelah pandemi covid-19 tahun 2022 kunjungan wisatanya mulai kembali pulih.
Pariwisata menjadi andalan Kabupaten/Kota di provinsi yang diperintah oleh Sultan Hamengkubuwono X ini, tahun 2019 sebelum ada badai covid-19, jumlah kunjungan Pelancong Nusantara 3.384.134 orang, dan kunjungan Pelancong Manca Negara sebanyak 338.858 orang. Jumlah ini dihitung kunjungan ke seluruh tujuan wisata di 5 Kabupaten/Kota di wilayah DIY, yakni Kota Yogyakarata, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon progo dan Kabupaten Gunung Kidul.
Pendapatan pariwisata menjadi penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) di masing-masing Kabupaten/Kota tersebut. Tahun 2019 misalnya sumbangan sektor Pariwisata untuk PAD Kota Yogyakarta mencapai Rp. 253 miliar atau 41,7 persen dari total PAD.
Pariwisata juga memberikan multiplier efek yang besar terhadap kehidupan ekonomi masyarakat sekitar, mulai dari produksi oleh-oleh, jasa parkir, jasa hotel dan penginapan, pengusaha kuliner, biro wisata dan masih banyak lagi sektor usaha yang berkembang melalui sektor ini.
Bukan bermaksud membandingkan dengan Bojonegoro, namun Bojonegoro bisa mencontoh konsep dan model kepariwisataan di jogja ini dengan membangun destinasi wisata yang murah dan menarik untuk dikunjungi.

Salah satunya membangun kawasan seperti Malioboro, modelnya sudah ada, uang Bojonegoro juga berlimpah. Animo masyarakat Bojonegoro juga tinggi, lihat saja setiap malam di kawasan Jalan Mastrip, Alun-alun, anak-anak muda nongkrong diatas trotoar yang sudah “mirip” jalan Malioboro ini. selanjutnya tinggal mengembangkan saja, dengan memperluas dan mempercantik kawasan tersebut. Ya, minimal agar dinikmati warga Bojonegoro sendiri dulu, toh di Jogja masyarakat jogja juga masih banyak yang menikmati wisata di daerahnya, terbukti banyaknya sepeda motor yang terparkir di lokasi-lokasi wisata atau kuliner dengan Plat AB.
Kawasan yang mungkin menjadi lokasi untuk menghadirkan “Malioboro” di Bojonegoro adalah Jalan Diponegoro, lokasinya strategis karena pintu masuk Kota Bojonegoro, dekat dengan alun-alun, dekat dengan sentra kuliner di jalan Kartini, dekat dengan Taman Lokomotif dan jalannya masih sangat lebar, sehingga memungkinkan untuk memperlebar trotoar untuk para pejalan kaki. Juga menambah hiasan-hiasan tradisional.
Selanjutnya dibuatkan lokasi sentra Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk memfasilitasi para pengusaha UMKM berjualan, seperti teras malioboro di Jogja. Lokasinya sudah ada yakni di pojok utara jalan Diponegoro yang sekarang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya.
Mimpi kah ini? bukan, ini bukan mimpi untuk menghadirkan Malioboro di Bojonegoro, karena uang Bojonegoro berlimpah, bahkan masih bersisa. Ditambah lagi jalan-jalan sudah nglenyer, dan Bojonegoro juga sudah memiliki Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2020 tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan tahun 2019 – 2025.
Penulis : Syafik