Surat Redaksi
Kewenangan (bukan) Kesewenang-wenangan

oleh 277 Dilihat
oleh
Bupati Bojonegoro Anna Mu'awanah saat memimpin mutasi atas sejumlah ASN di Pemerintah Bojonegoro, di Pendopo Malowopati, Bojonegoro, Jumat 12-Maret-2021.Foto/dok.Humas Pemkab Bojonegoro

Judul dalam kalimat di atas, menarik untuk disimak. Kewenangan dan Kesewanang-wenangan. Dua kata tersebut akan menyedot orang untuk berfikir.

Dalam terminologi sebagaimana dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kewenangan bisa diartikan sebagai kekuasaan. Atau lebih lugasnya, hak untuk melakukan sesuatu atau tepatnya memerintah untuk melakukan atau tidak. Sementara arti Kesewenang-wenangan dalam (KBBI), yaitu bertindak semaunya sendiri atau tidak mengikuti aturan. Kerap juga diartikan dengan perbuatan lalim.

Jadi, kewenangan dan kesewenang-wenangan itu, ranahnya bisa di dalam pemerintahan atau juga di sebuah lembaga/perusahaan non-pemerintahan atau swasta. Dalam sebuah tatanan pemerintah, kewenangan itu diberikan bersamaan dengan hak dan kewajiban. Karena hal itu melekat dalam jabatan yang diemban. Selain itu, kewenangan tetap dibatasi dengan aturan-aturan sehingga kekuasaan yang dimiliki tidak berubah menjadi kesewenang-wenangan.

Pimpinan atau pejabat pemerintah misalnya, diberikan kewenangan mengatur aparaturnya. Tujuannya agar organisasi dapat berjalan untuk mewujudkan  janji kampanyenya—misalnya jika itu dalam ranah politik. Karena bagaimanapun tim yang dimiliki oleh seorang pejabat yang baru adalah tim lama, bukan tim bentukan saat pejabat tersebut mulai memimpin. Sehingga  penataan organisasi dengan penerimaan pegawai baru dan rotasi pegawai yang lama dapat dipahami. Untuk itu pejabat diberikan kewenangan penuh dalam penataan organisasi yang dipimpinnya.

Soal penataan aparatur Sipil Negara setidaknya diatur melalui tiga peraturan, yakni Undang-undang nomor 5 tahun 2014 tentang  ASN, Peraturan Pemerintah nomor 11 tahun 2017 tentan Manajemen ASN dan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) nomor 5 tahun 2019 tentang Tata cara pelaksanaan Mutasi. Tiga aturan inilah yang membatasi keweangan Pejabat yang Bertanggung Jawab atau PyB dan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dan PKK tertinggi secara nasional adalah Presiden, ditingkat Provinsi adalah Gubernur dan di tingkat kabupaten/kota adalah bupati/walikota.

Baca Juga :   Dua Tahun Merawat Kemandirian

Segenap peraturan tersebut berisi tentang persyaratan dan prosedur yang harus dipatuhi oleh PPK saat melakukan mutasi, promosi, demosi dan sejumlah bentuk pembinaan kepada ASN. Soal mutasi misalnya dalam UU nomor 5 tahun 2014 disebutkan secara khusus pada pasal 73. Sebagai pelaksanaanya diatur dalam PP Nomor 11 tahun 2017 pasal 190, lebih teknis lagi diatur oleh Peraturan Kepala BKN.  Jika kita tengok pasal 190 PP Nomor 11 tahun 2017 ayat 4 maka mutasi harusnya didasarkan pada kesesuaian PNS dengan Kompetensi PNS dengan persyaratan jabatan, Klasifikasi Jabatan dan pola karier.

Bahkan BKN lebih detil lagi soal mutasi ini, untuk mutasi dalam satu instansi daerah misalnya. Terdapat delapan aspek yang harus menjadi pertimbangan.  Di antaranya Kompetensi, Pola karier, Pemetaan Pegawai, Kelompok Rencana Suksesi (Talent Pool), Perpindahan dan Pengembangan Karier, Penilaian Prestasi/Kinerja dan Perilaku PNS, Kebutuhan Organisasi dan Sifat pekerjaan teknis atau Kebijakan tergantung pada klasifikasi jabatan.

Baca Juga :   Surat Redaksi SiLPA Ra masalah...

Terkait prosedur pun demikian ketat untuk pelaksanaan mutasi. Memang benar bahwa kewenangan penetapan mutasi ada di PPK dalam hal ini Bupati, tapi semua berpangkal dari pengajuan kepala OPD atau kepala dinas, setelah melalui pertimbangan dari Tim Penilai Kinerja PNS atau kalau belum ada menggunakan Badan Pertimbangan Kepangkatan dan Jabatan (Baperjakat), baru diusulkan oleh Dinas yang menangani kepegawaian dalam hal ini Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) kepada PPK dalam hal ini Bupati sebagai PPK. Sehingga dalam penetapan mutasi Bupati tidak bisa keluar dari pengajuan dari BKPP. Artinya kewenangan bupati tetap dibatasi oleh peraturan sehingga tidak bisa sewenang-wenang.

Pun juga soal penerimaan Pegawai Tidak Tetap atau biasa disebut Tenaga Harian Lepas atau Honorer, di Bojonegoro secara khusus diatur melalui Peraturan Bupati Bojonegoro nomor 22 tahun 2018. Sehingga Kepala Dinas tidak bisa semena-mena untuk mengangkat dan memberhentikan PTT.

Dalam Perbup yang masih berlaku karena belum ada perbup yang baru ini. pangkalnya tetap dari kepala dinas, dengan prosedur pengangkatan yang juga ketat, mulai dari perencanaan, pengumuman, persyaratan, ujian penyaringan,dan Pengumuman Hasil Penyaringan.

Jadi kewenangan bukan berarti kesewenang-wenangan karena kewenangan dibatasi dengan peraturan.

Penulis : Syafik

Editor : Sujatmiko

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *