Pemerintah bukannya diam soal harga tembakau ini. Upaya Dinas Pertanian (Disperta) Bojonegoro misalnya, dengan mengumpulkan para supplier tembakau dari pabrik rokok besar diantaranya PT. Sadana Arifnusa (Supliernya HM. Sampoerna), PT. SCU (Supliernya PT. Gudang Garam Tbk), dan supliernya PT. Djarum, untuk mendapatkan data kebutuhan tembakau dari masing-masing supplier pada setiap musim tanam.
Dari data ini didapatkan jumlah lahan yang bisa ditanami tembakau. Namun seringkali yang terjadi pada saat panen, tidak semua tanaman yang disebut daun emas ini terserap. Bisa jadi ini adalah permainan para pengumpul atau rayon untuk menekan harga.
Sebenarnya sudah ada solusi untuk memastikan harga daun tembakau agar menguntungkan petani dan jaminan serapan. Yakni dengan pola kemitraan antara pabrik rokok besar dengan para petani. Namun di lapangan, petani tetap saja dirugikan. Lagi-lagi saat pabrik besar mendelegasikan kepada perorangan atau pengumpul untuk melakukan perjanjian dengan petani.
Persoalan perhitungan biaya produksi dan harga panen menjadikan petani tidak mendapatkan keuntungan yang selayaknya. Kondisi itu membuat beberapa petani menjual tembakaunya kepada pengepul di luar mitra pabrikanya. Musababnya, karena tergiur dengan tawaran harga yang lebih tinggi.
Akhirnya tujuan mulia dari kemitraan tidak tercapai. Masyarakat memilih menanam tembakau secara mandiri. Tentu dengan risiko tidak terserap atau terserap dengan harga rendah.
Sejarah kemitraan petani tembakau sudah ada sejak zaman kolonial Belanda dengan pola yang lebih baik, jika saat ini yang terjadi hanya kemitraan parsial. Pabrikan hanya sebagai mitra pasar petani. Tapi pada jaman kolonial Belanda, kemitraan juga dalam bentuk kemitraan teknologi.
Pada tahun 1938 Perusahaan Rokok BAT dengan fasilitasi dari Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan kebun percobaan di Bojonegoro dan sekitarnya. Krosok ordonantie 1938 (peraturan tentang tembakau Zaman Belanda) menetapkan agar semua perusahaan pengolah daun tembakau ikut membina petani. Antara lain ada kewajiban setiap oven tembakau ukuran 6 x 6 x 7 m, kapasitas 5-6 ton daun tembakau, wajib menyediakan 40 bedengan, ukuran 5x1m, yang bibitnya diserahkan gratis kepada petani.
Pada era kemerdekaan Krosok-Ordonantie 1938 diperkuat dengan UU No. 22 tahun 1958, tentang perubahan Krosok-Ordonantie 1938. Pada UU tersebut perusahaan swasta masih diwajibkan untuk membantu pembinaan petani agar dihasilkan tembakau yang sesuai permintaan konsumen.
Di Jawa Timur Undang-Undang ini diimplementasikan dalam Peraturan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. Pem/308/G, tanggal 10 Juni 1969. Pada Peraturan ini, dicantumkan juga setiap pemilik alat perajang dengan kapasitas 200 kg daun/hari diwajibkan menyediakan 20 bedengan yang diberikan kepada petani secara gratis. Namun pola kemitraan ini tidak sesuai harapan baik dari peningkatan produktifitas lahan atau kualitas daun tembakau.
Pola kemitraan yang berhasil, bisa melihat di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan meningkatnya produktifiatas lahan dari 1.000 kilogram/hektare menjadi 2.000 -2.500 kilogram/hektare. Keterlibatan pemerintah daerah menjadi kunci keberhasilan pola kemitraan ini.
Samsuri T dan Taufiq I menyimpulkan dalam penelitianya yang dimuat di jurnal buana sains vol 11 No 1: 55-64, 2011, 1. Sistem kemitraan tembakau di Jawa Timur perlu diperbaiki melalui standarisasi kemitraan dengan belajar dari keberhasilan penerapan kemitraan Sinergi tembakau virginia di Lombok. 2. Pembinaan pemerintah daerah, khususnya pemerintah kabupaten secara langsung melalui regulasi sistem kemitraan sangat diperlukan.3. Untuk meningkatkan semangat semua pihak, perlunya pemerintah daerah memberikan bantuan teknis sampai sarana produksi dan membentuk Badan Pengelola Kemitraan.
Belajar masa lalu tentang bisnis tembakau, petani tentu pernah menikmati legitnya usaha lembaran daun berkadar zat nikotin ini. Tapi lambat lain, petani terpuruk dan kian terjerambab. Jeritan petani kian parau dan melemah.
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko