“Menurut Petunjuk Bapak Presiden…”Begitulah prolog yang disampaikan oleh Harmoko di setiap acara laporan khusus yang disiarkan melalui Televisi Republik Indonesia (TVRI) dalam masa Orde Baru. Kalimat ini “viral” pada massa itu.
Tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional, dan Harmoko adalah tokoh yang membidani munculnya Surat Keputusan Presiden Soeharto Nomor 5 tahun 1985 sebagai dasar hukum peringatan hari pers nasional. Waktu itu Harmoko adalah Menteri Penerangan, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. Penetapan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional didasarkan pada tanggal lahrinya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yakni pada tanggal 9 Februari 1946 di Solo.
Catatan pada majalah Pers Indonesia terbitan Direktorat Jendral Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan April 1981 menyebutkan usulan Hari Pers Nasional bermula diputuskan pada Konggres XVI PWI di Padang tahun 1978 untuk diajukan kepada Pemerintah. Realisasinya berwujud Keputusan Sidang Dewan Pers XXI di Bandung, 19 Februari 1981 yang berbunyi : Menyetujui dan Menyambut baik keputusan PWI tersebut.
Harmoko menjadi sentral pemberitaan pada zaman orde baru. Namun setelah tumbangnya orde baru pada tahun 1998, nama Harmoko seperti ikut terbenam dan tidak lagi terdengar kabar beritanya.
Pria Kelahiran Kecamatan Patianrowo Kabupaten Nganjuk Jawa Timur tahun 1939 ini juga seorang wartawan. Menurut catatan wikipedia, pada permulaan tahun 1960 selepas Sekolah Menengah Atas, Harmoko mengawali karir di Harian Merdeka dan Majalah Merdeka. Tahun 1964 Harmoko merangkap menjadi wartawan di Harian Angkatan Bersenjata. Tahun 1965 Harmoko berkarir sebagai wartawan di Harian API, pada saat itu juga Harmoko menjadi Pimpinan Redaksi majalah berbahasa Jawa Merdiko. Berikutnya pada tahun 1966 – 1968 Harmoko menjadi Penanggung Jawab harian Mimbar Kita. Dan pada tahun 1970 bersama teman-temanya Harmoko mendirikan Harian Pos Kota.

Karirnya semakin menanjak dalam dunia pemberitaan, setelah Presiden Soeharto mengangkat dirinya menjadi Menteri Penerangan tahun 1983. Saat menjadi menteri ini lah Harmoko mampu mengemban amanat dari Soeharto dengan melahirkan program-program yang dianggap sukses pada waktu itu. Di antaranya adalah Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pirsawan (Kelompencapir) sebagai sarana untuk menyampaikan program-program pemerintah sampai ke tingkat pedesaan. Pada saat menjabat sebagai Ketua Umum Golkar tahun 1993 Harmoko mencetuskan program temu kader ,Safari Ramadhan, sebuah program yang diyakini mampu mempengaruhi hasil Pemilu.
Puncak karir sekaligus sebagai akhir kisah Harmoko adalah saat dia menjadi Ketua DPR/MPR tahun 1997. Ketika gelombang reformasi memaksa Harmoko harus membuat keputusan untuk meminta Soeharto turun dari Jabatanya pada tahun 1998. Dan pada pasca Pemilu 1999 nama Harmoko seperti hilang ditelan bumi.
Jejak digital terlacak dari halaman kompasiana, seorang bernama Djasman Djamaludin menuliskan pada 7 Februari 2019 Harmoko terlihat sehat di usia 80 tahun. Padahal setahun sebelumnya yakni tiga hari sebelum ulang tahunya yang ke 79 Harmoko sempat dirawat di rumah sakit dengan diagnosa infeksi paru-paru. (https://www.kompasiana.com/dasmandjamaluddin/5c68c5d2c112fe7df5647e1b/harmoko-di-usia-80-tahun-terlihat-sehat?page=1)
Dan salah satu warisanya yakni Hari Pers Nasional tetap diperingati pada tanggal 9 Februari, seperti pada zaman orde baru. Meski banyak kalangan menolak tanggal tersebut sebagai Hari Pers Nasional, Presiden Pasca Reformasi tidak ada yang mencabut Keputusan Presiden Soeharto nomor 5 tahun 1985 tersebut. Beberapa organisasi jurnalis menganggap bahwa tanggal tersebut sebagai Hari Lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko