Surat Redaksi
Gaduh Pupuk, Petani Tetap Tangguh

oleh 47 Dilihat
oleh
(Infografis Ilustrasi pupuk bersubsidi. Editor : Syafik)

“Namung angsal 20 kilo (Hanya dapat 20 kilogram),” kata Ketua Kelompok Tani di Kecamatan Sugihwaras Ratno. Hal yang sama juga dikeluhkan para petani di Kecamatan Kedung adem, Bojonegoro. Tak main-main, keluhan para petani ini bisa jadi adalah  suara dari pinggir ladang dan huma di seluruh Indonesia. Setidaknya di Bojonegoro. Pasalnya jumlah pupuk bersubsidi yang didapatkan jauh dari  kebutuhan di sawah.

Menurut standart Kementrian Pertanian, jumlah pupuk yang dibutuhkan untuk satu hektare tanaman padi adalah urea sebanyak 300 kilogram, SP  100 kilogram dan NPK 100 kilogram. Artinya petani hanya mendapatkan 6,7 persen Urea, 20 persen SP dan 20 persen NPK dari kebutuhan yang seharusnya.

Alih alih atau awu-awu dalam bahasa Jawanya atau dalam bahasa prokem disebut A2 atau asli dua, Pemerintah Pusat membantu petani dengan pupuk bersubsidi, tidak tanggung-tanggung anggaran yang disediakan untuk belanja pupuk bersubsidi sebesar Rp. 29,76 triliun untuk 8,9 juta ton pupuk.

Namun nyatanya prinsip-prinsip dalam pendistribusian pupuk bersubsidi tidak terpenuhi. Prinsip yang dikenal dengan 6 T,  yakni tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu, ternyata tidak sepenuhnya dilaksanakan.  Tepat jumlah misalnya, ternyata tidak terpenuhi, karena petani hanya mendapatkan dalam jumlah sangat minim dari yang dibutuhkan.

Kegaduhan pupuk bersubsidi menjadi sangat kentara saat Menteri Pertanian RI mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1 Tahun 2020 yang selanjutnya dirubah dengan Permentan Nomor 10 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi. Dalam pasal 17 ayat 2 menyebutkan, Penyaluran Pupuk Bersubsidi menggunakan Kartu Tani. Dan “dipaksakan” pada tanggal 1 September 2020 harus dilaksanakan. Jadi kontradiktif karena infrastruktur Kartu Tani belum tersedia di tingkat petani maupun kios resmi pupuk bersubsidi.

Baca Juga :   Distribusi Pupuk Bersubsidi di Kalitidu Dikawal Babinsa

Akibatnya para distributor lini IV tidak berani menyalurkan pupuk bersubsidi. Para petani pun kelimpungan mencari pupuk bersubsidi. Dengan sangat terpaksa para petani yang sudah mulai melakukan tanam padi pada bulan Oktober 2020 membeli pupuk non subsidi dengan harga berlipat lipat.

Begitu masalah penyaluran selesai dengan diperbolehkanya pembelian dengan cara manual, masalah pun berlanjut, dimana jumlahnya tidak sesuai kebutuhan dari para petani. Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (E-RDKK) tidak mencerminkan kebutuhan riil petani yang  memiliki sawah di bawah dua hektare seperti yang disyaratkan. Akibatnya jumlah pupuk bersubsidi yang disalurkan tidak menjangkau seluruh petani yang membutuhkan.

(Infografis Perbandingan Harga Pupuk Subsidi dan Non Subsidi. Editor Grafis : Syafik)

Beruntung para petani punya kebesaran hati, mereka rela berbagi ke petani lain yang tidak masuk dalam RDKK dengan membagi pupuk bersubsidi. Seharusnya dalam satu hektare mereka menerima pupuk urea 250 kilogram, SP 36 100 kilogram, NPK 150 kilogram, ZA 50 kilogram dan pupuk organik 500 kilogram. Mereka relakan pupuk untuk dibagi kepada petani yang lain yang tidak kebagian. Sedangkan mereka yang memilik jatah, merelakan untuk membeli pupuk non subsidi dengan harga tinggi.

Baca Juga :   Ketika Pisang Menjadi Cerita: Malang Berjaya, Bojonegoro yang Lelah

Pemikiran para petani itu sebenarnya sangat sederahana, yakni saat butuh pupuk sudah tersedia di kios, mereka akan rela membayar berapapun harganya.Iru karena sudah menjadi kebutuhan produksi sawah mereka.

Tentu mereka mengharapkan bantuan dari pemerintah dalam bentuk subsidi pupuk. Namun jika pelaksanaanya tidak tepat waktu dan tepat jumlah, kekecewaan  terhadap kebijakan pupuk bersubsidi pun membuncah.

Pilihan solusi dari masalah pupuk bersubsidi ini adalah dengan memperbaiki sistem distribusi pupuk bersubsidi agar sesuai prinsip 6 T. Atau Pemerintah tidak usah awu-awu untuk memberi bantuan pupuk bersubsidi kepada petani, sehingga para petani tidak perlu mengharapkan dan bisa bisa mengatur keuanganya untuk persiapan produksi padi mereka tanpa memperhitungkan pupuk bersubsidi.

“Geh pun mas, pripun maleh (ya sudah mas, bagaimana lagi),” ini kata pamungkas para petani saat pupuk bersubsidi tidak sesuai yang diharapakan. Mereka terpaksa menelan kekecawaan dan memupus harapan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar jika menggunakan pupuk bersubsidi.

Alangkah tidak elok jika pemerintah mengecewakan petani dengan program yang tidak dapat dilaksankan dengan baik. Sektor pertanian lah yang menjaga pertumbuhan ekonomi bangsa di tengah pandemi, di saat sektor-sektor ekonomi lain terpuruk.

Awu-awu Pupuk Bersubsidi  jelas bikin gaduh. Korbannya lagi-lagi petani, namun petani tetap tangguh.

Penulis : Syafik

Editor : Sujatmiko