Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Bojonegoro tahun anggaran 2019, menjadi gaduh. Setidaknya itu terjadi di Gedung Dewan Perwakilan Rayat Daerah (DPRD), pekan ke dua Juli 2020 ini.
Buntutnya, sejumlah anggota DPRD Bojonegoro ramai-ramai mendatangi Gedung BPK RI Perwakilan Jawa Timur di Surabaya. Mereka mempertanyakan isi dari LHP BPK yang mendapat predikat atau opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) ini.
Sebenarnya pemeriksaan oleh BPK adalah hal rutin tahunan. Rujukannya yaitu amanat Undang-Undang, dengan materi pemeriksaan standar dari tahun ke tahun. Yakni soal sistem pengendalian internal dan soal kepatuhan terhadap peraturan.
Tentu setiap tahun juga ada temuan yang harus ditindaklanjuti oleh Bupati Bojonegoro siapapun itu. Dan dalam kurun waktu enam tahun ini Bojonegoro menyandang predikat WTP. Sebuah status yang tentu cukup prestisius.
Lalu mengapa LHP BPK tahun ini, bisa gaduh?
Bisa jadi karena LHP BPK tahun ini menyangkut kinerja Kepemimpinan Anna – Wawan (Bupati dan Wakil Bupati Bojonegoro) yang dalam proses perencanaan anggaran dan pelaksanaan kegiatannya dalam kendali penuh Bupati dan Wakil Bupati Bojonegoro yang dilantik September 2018 silam.
Menyikapi LHP BPK tergantung pada siapa yang membacanya. Bila yang membaca pemerintah atau biasa disebut eksekutif, misalnya, LHP harus dibaca sebagai sarana perbaikan dalam pelaksaan pembangunan di Bojonegoro. Temuan-temuan BPK harus menjadi acuan dalam kebijakan di tahun berikutnya.
Contoh, soal adanya temuan dugaan pengaturan tender, maka tindakan ini tidak perlu lagi dilaksanakan pada tahun berikutnya. Atau soal temuan pengembalian kelebihan bayar, maka tentu harus dikembalikan kelebihan bayarnya. Ke depan pengawasan pelaksanaan pekerjaan lebih serius lagi agar tidak lagi terjadi kelebihan bayar tersebut.
Toh Undang-Undang memberikan toleransi sebagai bagian dalam pencegahan kebocoran anggaran milik rakyat tersebut. Yakni toleransi waktu selama 60 hari, sebelum masuk ke ranah hukum jika ada indikasi tindakan pidana. (pasal 20 ayat 3, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara).
Bagaimana jika LHP ini dibaca oleh kelompok yang berseberangan dengan Pemerintah? tentu akan membawa sikap dan perilaku yang berbeda. LHP BPK bisa menjadi “pedang” yang siap diayunkan. Ayunan pedang itu bisa menjadi lebih berbahaya jika sudah masuk dalam ranah hukum. Dan kabarnya LHP BPK ini sudah masuk ke Gedung Bundar Kejaksaan Agung di Jakarta.
Tetapi jika pedang tidak cukup tajam untuk menurunkan penguasa dari kursi pemerintahan, maka setidaknya untuk melukai atau menggores atau memotong sebuah kebijakan dalam kerangka menurunkan kredibilitas pemerintahan. Tujuanya agar pemerintahan tidak dapat melenggang setidaknya pada periode pemilihan berikutnya.
Untuk kelompok politisi oportunis atau kelompok masyarakat lain yang hanya berfikir kepentingan sesaat, materi dan jabatan tentunya. LHP BPK bisa dibaca sebagai “mata uang” yang bisa jadi alat tukar kepada penguasa untuk bertransaksi tentang kepentingan proyek atau jabatan tertentu.
Namun bisa jadi sebagian masyarakat Bojonegoro tidak terlalu peduli atau bahkan tidak tahu soal LHP BPK ini. Ya karena untuk mereka yang terpenting adalah, apa yang mereka lihat dan rasakan dari proses pembangunan.
Mereka tidak peduli apakah proses tender pekerjaan peningkatan jalan itu diatur. Yang terpenting jalan yang mereka lalui mulus. Atau mereka tidak peduli soal kelebihan bayar dari proyek tersebut. Wong nyatanya mereka sudah merasakan nyamannya jalan setelah diperbaiki.
Atau bisa jadi mereka tidak tahu bahwa pembangunan ruang kelas di sekolahan anaknya tidak sesuai kontraknya. Karena nyatanya anaknya dapat merasa lebih nyaman setelah ruang kelasnya dibangun.
Atau masyarakat begitu menikmati keindahan lampu-lampu Jembatan Trucuk, dan mereka tidak tahu bahwa ada kelebihan bayar yang terlanjur dibayar oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro atas pengadaan lampu tersebut, sehingga harus dikembalikan.
Tentu harapanya masih ada kelompok masyarakat yang membaca LHP BPK sebagai alat untuk menjaga uang rakyat agar tidak dikorupsi dan rakyat dapat merasakan manfaat dari uang mereka. Pertanyaannya sederhana, masih kah ada ?
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko