Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bojonegoro dijamin makin tajir. Ini setelah Bupati Bojonegoro Anna Mu’awanah menaikan pendapatan anggota legislatif ini meski tahun sebelumnya juga sudah dinaikkan.
Pada tahun 2020, Bupati Anna sudah menaikan tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi. Untuk tunjangan perumahan yang diterima Ketua DPRD adalah Rp. 20.300.000, nilai ini naik 29 persen dari tahun sebelumnya. Untuk wakil ketua dewan mendapatkan Rp. 15.200.000 atau naik sebesar 30 persen, sementara untuk para anggota dewan menikmati anggaran sebesar Rp. 10.700.000 perbulan yang artinya naik sebesar 19 persen dari tahun sebelumnya. Untuk tunjangan transportasi pada tahun 2020 bagi para anggota dewan terjadi kenaikan sebesar 37 persen dari tahun sebelumnya. Dengan nilai tunjangan pada tahun 2020 sebesar Rp. 8.250.000.
Tahun 2021 para wakil rakyat ini mendapatkan kenaikan lagi untuk tunjangan perumahan, dengan rincian ketua dewan sebesar Rp. 22.100.000 (Dua puluh juta seratus ribu rupiah) per bulan. Untuk wakil ketua besarnya Rp. 16.600.000 (Enam belas juta enam ratus ribu rupiah) dan anggota sebesar Rp. 10.700.000 (Sepuluh juta tujuh ratus ribu rupiah). Sementara untuk tunjangan transportasi para anggota dewan mengantongi uang sebesar Rp. 9.850.000 (Sembilan juta delapan ratus lima puluh ribu rupiah).
Dari kenaikan ini pendapatan yang diterima oleh Ketua DPRD Bojonegoro berada pada kisaran Rp. 55 juta perbulan. Sementara untuk para wakil ketua yang jumlahnya tiga, masing-masing membawa pulang uang sebesar Rp. 42 Juta. Sementara para anggota menerima Rp. 39 Juta. Nilai ini belum ditambah tunjangan-tunjangan yang lain yang tidak diterimaka per bulan, seperti tunjangan reses, tunjangan perjalanan dinas dan tunjangan-tunjangan yang lain.
Secara hukum tidak ada yang salah dengan besaran pendapatan yang diterima para wakil rakyat ini. Karena memang semua ada dasar hukumnya. Setidaknya dari Peraturan Menteri hingga Peraturan Bupati. Dan terakhir adalah Peraturan Bupati Bojonegoro nomor 10 tahun 2021, yang diteken oleh Bupati Anna Muawanah pada 26 Februari 2021 lalu.
Namun pertanyaanya adalah, bagaimana kinerja para wakil rakyat tersebut? Sudah sesuaikah dengan kenyamanan yang diterima saat ini? untuk mengukur kinerja lembaga legislatif tentu tidak mudah, karena tidak adanya alat ukur kuantitatif yang bisa digunakan berdsasarkan tugas dan fungsinya. Misal bagaimana mengukur keberhasilan fungsi pengawasan dari para wakil rakyat yang berkantor di Jalan Trunojoyo ini? bisa jadi ukuranya adalah jumlah rekomendasi yang dikeluarkan. Namun berapa rekomendasi yang dikeluarkan dari hasil pengawasan? Juga tidak ada data yang jelas.
Berikutnya fungsi budgeting atau penganggaran, yang pasti ini ada di anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), bagaimana mengukur hasil tugas mereka? Sudah merepresantasikan kebutuhan masyarakat atau minimal konstituenya di daerah pemilihan? Berapa persen anggaran yang berhasil diusulkan dari kebutuhan masyarakat? Tidak ada instrumen untuk mengukur itu.
Fungsi berikutnya adalah fungsi legislasi yakni membentuk peraturan daerah, fungsi inilah yang bisa diukur secara kuantitatif, berapa jumlah perda yang dihasilkan dalam kurun waktu satu tahun? Jika data yang ada di jdih.bojonegorokab.go.id benar, maka di tahun 2020, DPRD Bojonegoro hanya menetapkan 12 Peraturan daerah. Nah jika dihitung dengan anggaran yang harus disediakan untuk menggaji mereka, maka satu Perda ditahun 2020 menghabiskan anggaran sebesar Rp. 6 miliar. Bisa dibayangkan besarnya anggaran untuk satu perda saja. Efektif dan efisienkah?
Tapi apakah ini menjadi ukuran keberhasilan seorang anggota dewan, semua berpulang kepada masyarakat pemilih. Karena merekalah yang berhak menentukan wakil mereka di legislatif.
Namun terkait kesejahteraan anggota dewan ini bukan soal formal belaka. Sebagai wakil rakyat tentu seyogyanya melihat bagaimana kondisi rakyat yang diwakilinya. Saat ini rakyat harus berjibaku bertahan dari kondisi yang tidak menguntungkan karena pandemi covid-19, dimana para petani harus merelakan gabahnya dibeli dengan sangat murah, dimana para petani harus tetap membeli pupuk dengan harga yang tinggi, dimana para pedagang kaki lima harus berjuang dengan omzet yang turun drastis, dimana para pemilik usaha kecil menengah yang harus mati-matian mempertahankan usahanya dan segudang kesulitan hidup yang dihadapi rakyat, tentu tidak etis jika harus mendapatkan kenikmatan dari hasil keringat mereka. Ini adalah situasi yang kontradiktif.
Meski demikian pembenaran atas itu pun tetap ada, namanya juga politisi. Bahwa mereka sudah “membeli” kursi yang diduduki lima tahun itu dengan biaya yang besar, kabarnya biaya yang harus dikeluarkan minimal Rp. 1 miliar. Tentu uang itu bukan uang shodaqoh yang direlakan untuk tak kembali, tapi uang itu harus kembali dengan jumlah yang mestinya jauh lebih besar. Selain itu mereka juga harus menyiapkan dana untuk pemilihan berikutnya dengan jumlah dana yang bisa jadi sama besar atau lebih besar lagi.
Jadi, semua kembali kepada rakyat yang merupakan pemilik sah kedaulatan di negeri ini. Akankah mereka tetap menentukan pilihan berdasarkan uang yang diterima dengan pecahan hanya Rp 50 ribu dan Rp100 ribuan? Atau akan menentukan pilihan berdasarkan kemampuan dan moral, agar mendapatkan pemimpin yang tidak hanya berfikir balik modal?
Sekali lagi, dewan berpendapatan tinggi itu sah saja. Makanya jika sudah berpenghasilan tinggi, fasilitas dan tunjangan full, harusnya kinerjanya juga berbanding lurus. Setidaknya atas keberfihakan rakyat, kepentingan, kesejahteraan dan penghidupan layak. Bukan sebaliknya.
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko