“Anak saya tidak diterima di sekolahan itu tidak masalah. Tapi yang jadi masalah adalah, adanya kecurangan dalam penerimaan siswa baru di sekolah itu,” ucap salah satu wali murid calon siswa di Kabupaten Bojonegoro.
Kata kecurangan yang diselipkan pada kalimat di atas, adalah salah satu cerita. kekecewaan dari wali murid yang anaknya tidak diterima di sekolah favorit. Penggalan kata, kecewa, curang dan lainnya, kini menyeruak di publik dan jadi topik bahasan.
Jadi menarik, karena realitas itu muncul di tengah riuhnya Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran baru 2020-2021 ini. Faktanya, meski di tengah pandemi virus corona sekalipun, sisi gelap proses penerimaan siswa-siswi baru, akan tetap jadi cerita di balik berita.
Persoalan kecurangan penerimaan siswa baru, bukan barang baru di negeri ini. Modusnya bermacam ragam. Kalau zaman orde baru bisa menggunakan surat sakti atau dulu dikenal dengan sebutan katabelece dari pejabat lokal atau menggunakan uang pelicin melalui kepala sekolah. Berkedok bantuan gedung, komputer atau yang lain.
Di zaman yang sudah serba online ternyata persoalan tersebut masih saja terjadi. Modusnya tentu berbeda. Kali ini lebih pada rekayasa surat kependudukan. Saat warga miskin mendapatkan prioritas masuk sekolah, kini ramai-ramai muncul kasus surat miskin atau kerap disebut surat keterangan tidak mampu.
Di tahun ini untuk jalur zonasi, muncul strategi baru untuk dapat masuk sekolah favorit yang dituju. Yakni dengan rekayasa surat kependudukan. Misalnya memasukan ke dalam kartu keluarga yang rumahnya dekat dengan sekolah favorit dimaksud.
Pun juga membuat Surat Keterangan Domisili (SKD) yang menunjukan calon siswa bersangkutan berdomisili dekat dengan sekolah favorit yang diinginkan.
Upaya oknum orang tua untuk melakukan hal kurang terpuji tersebut sebenarnya bisa dipahami. Yakni sebagai orang tua berupaya memberikan pendidikan terbaik bagi putra-putrinya (asal bukan karena gengsi lho ya).
Tentu melalui sekolah yang diyakini memberikan pendidikan terbaik dan saat ini belum merata bisa didapatkan. Tetapi menjadi tidak bisa dipahami ketika upaya tersebut menjadikan calon siswa yang lebih berhak tidak bisa mendapatkan haknya.
Kebijakan zonasi yang digagas Menteri Pendidikan pada waktu itu Muhadjir Effendy, bertujuan untuk mendorong meratanya mutu pendidikan di sekolah, namun ternyata dalam tiga tahun ini belum berwujud. Dampaknya masyarakat masih memiliki stigma atas sekolah di sekitarnya.

Kecurangan Penerimaan Siswa Baru atau sekarang disebut dengan PPDB tidak hanya dilakukan oleh oknum orang tua siswa, tetapi juga oknum sekolahan.
Sebenarnya ini bukan rahasia lagi atau sudah menjadi rahasia umum. Sekolah yang ingin mendapatkan murid sebanyak-banyaknya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan moral pendidikan sendiri. Modusnya dengan memberikan imbalan kepada orang tua siswa yang mau menyekolahkan putra-putrinya di sekolahanya. Imbalannya bisa berupa barang dan lebih banyak uang, nilainya bisa cukup banyak.
Upaya memenuhi pagu siswa bisa dipahami sebagai upaya untuk memenuhi target dari dinas pendidikan. Namun tidak bisa dipahami jika harus membuat strategi “money politik” seperti pilihan kepala desa atau pilihan bupati atau pilihan calon anggota legislatif.
Pasalnya dalam soal pemilihan umum saja,money politik menjadi barang haram, maka tidak seharusnya dunia pendidikan mengajarkan hal seperti itu. Pertanyaannya, jika praktik itu masih terus terjadi, lalu apa bedanya?
Upaya untuk mencukupi biaya operasional sekolah dengan banyaknya siswa tentu dapat dipahami. Namun tidak bisa dimengerti jika harus mengorbankan moralitas pendidikan karena ini akan menyeret kualitas pelayanan pendidikan. Pasalnya dari awal sudah melakukan ketidakjujuran dalam pelaksanaan penerimaan siswa baru.
Untuk para orang tua tentu harus bisa menerima bahwa kebijakan pendidikan dalam PPDB memang seperti itu. Sehingga dalam rangka memberikan pendidikan terbaik untuk putra putrinya, seyogyanya orang tua bersama sekolah berupaya dalam zonanya, untuk meningkatkan kualitas pendidikan di wilayahnya.
Atau bisa dengan memasukkan putra-putrinya ke sekolah swasta yang kualitas pelayanan pendidikanya setara dengan sekolah negeri. Apalagi saat ini sudah banyak tersedia, tentu dengan menyediakan biaya yang lebih banyak. “Jer Basuki Mowo Beyo.”
Untuk sekolah yang menginginkan jumlah murid banyak, tentu pilihan paling rasional dan bermoral adalah peningkatan pelayanan pendidikan.
Sudah banyak bukti yang bermutu tidak hanya sekolah milik negeri, tetapi swasta juga berdaya saing tinggi. Lihat saja, ada banyak sekolah swasta yang untuk bisa masuk musti harus antre satu atau dua tahun. Tetapi terpenting adalah bagaimana meningkatkan kualitas layanan pendidikannya.
Kini kita kembali ke topik bahasan. Karena hampir tiap tahun memunculkan cerita di balik berita penerimaan siswa-siswi baru di sekolah favorit.
Sampai kapan penerimaan siswa-siswi baru ini meninggalkan pesan sisi terang. Bukan sisi gelap?
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko