“Suorone calon papat dimusohno calon nomor x (suara perolehan empat calon dilawan satu calon nomor x).” Itu salah satu bursa taruhan Pilkades di sebuah desa sebuah kecamatan pada gelaran Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Serentak Gelombang III tahun 2020 ini.
Bursa ini muncul paska kampanye yang dilaksanakan di sebuah balai desa. Ukuran yang dipakai salah satunya adalah, jumlah massa yang mengiringi Calon Kepala Desa (Cakades). Mulai dari titik kumpul (biasanya rumah kades) sampai ke balai desa.
Bursa taruhan ini berbeda-beda di setiap desa yang menggelar Pilkades. Tergantung tingkat kompetisi calon kades, jumlah kontestan, kekuatan finansial calon kades, tingkat elektabilitas dari calon kades. Bursa taruhan ini beredar di kalangan para botoh atau penjudi. Menjadi menarik karena botoh seringkali menjadi salah satu pertimbangan dari cakades untuk melihat perkembangan peta politik jelang pemilihan. Botoh yang merupakan istilah dalam bahasa Jawa memiliki makna “pejudi” berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, mempunyai kekuatan politik yang tak bisa dinafikan. Tujuan utama botoh adalah memenangkan perjudian dengan segala cara.
Nilai taruhan bisa ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Tergantung kekuatan botoh dan ketatnya persaingan dalam pilkades. Biasanya botoh dari luar kota melakukan taruhan dalam jumlah lebih banyak dari botoh lokal desa, kecamatan atau kabupaten.
Dalam penilitan yang ditulis oleh Acidieni Hartati, Arika Yustafida Nafisa, Trias Tuti Hidayanti dalam Jurnal PolGov Vol. I No. 1, 2019 Universitas Gajahmada, dengan judul “Botoh dalam Pilkada: Studi Pola Kerja dan Transformasi Botoh dalam Pilkada Kudus 2018” Berdasar pola kerjanya botoh dibagi menjadi empat kategori. Yaitu (1) murni taruhan, (2) tujuan ekonomi/taruhan yang dibalut dengan tindakan politik, (3) botoh yang menjadi bagian mekanisme pemenangan kandidat, dan (4) botoh pemodal.
Untuk Kategori Botoh yang murni taruhan, ada dua kelompok yakni Botoh lokal dan Botoh luar kota. Botoh lokal sebenarnya dengan nilai taruhan jutaan tidak berpengaruh besar dalam hasil pilkades. Ini karena botoh lokal hanya melihat peta politik di desa dan melakukan pertaruhan dari hasil peta politik yang diketahuinya.
Namun botoh luar kota dengan jumlah taruhan puluhan bahkan ratusan juta bisa mempengaruhi hasil pilkades. Pasalnya para botoh tidak segan untuk melakukan politik uang di luar politik uang yang dilakukan oleh cakades. Inilah yang bisa merusak suara cakades lain dan membalikkan hasil pilkades.
Para botoh luar kota punya tim survei untuk menjajaki kecenderungan pemilih, tim pengawal pemenangan, dan sebagainya. Jumlahnya banyak. Mereka bisa menggalang orang-orang terlatih dalam persaingan pilkades. Tim ini mereka sebar di setiap Rukun Tetangga (RT), desa, dan kecamatan. Di masing-masing tingkat memiliki koordinator. Lalu, masing-masing koordinator tersebut melaporkan hasil surveinya pada bos botoh.
Yang membedakan survei botoh dengan survei akademik adalah, botoh menghitung nyata pendukung satu per satu dan memiliki akurasi yang tinggi. Botoh bisa mendapatkan angka pendukung calon A berapa ribu, calon B berapa ribu dan sekian ribu pemilih yang masih mengambang. Hasil survey ini lah yang dijadikan dasar untuk melakukan upaya-upaya dalam menjaga kemenganan taruhan yang dilakukan oleh Botoh.
Botoh pun selalu memonitor perkembangan peta politik tiap desa setiap waktu, untuk menjaga agar dia tetap dapat memenangkan pertaruhan. Pola politik uang yang dilaksanakan oleh botoh ada beberapa model tergantung perkembangan politik di desa.
Jika jagonya dalam perhitugan mendekati pemilihan kalah, maka model pertama yang dipakai adalah, menambah uang kepada pemilih calon lain. Tujuannya agar berubah memilih jagonya. Model kedua para botoh akan membeli surat suara pemilih calon lain agar tidak dapat memilih. NIlai uangnya jelas harus diatas yang diberikan oleh calon kades.
Dalam kesimpulan penelitianya, Acidieni Hartati, Arika Yustafida Nafisa, Trias Tuti Hidayanti dalam Jurnal PolGov Vol. I No. 1, 2019 Universitas Gajahmada menyebutkan bahwa, botoh mampu membalikkan hasil akhir perolehan suara. Pada studi kasus Pilkada Kabupaten Kudus Tahun 2018 membuktikan Dimana elektabilitas awal dipegang oleh kandidat nomor urut 1, justru pada hasil akhir dimenangkan oleh kandidat nomor urut 5.
Begitulah botoh dalam pilkades mampu merubah hasil untuk memenangkan pertaruhan. Meski sudah banyak kasus botoh yang tertangkap oleh aparat kepolisian. Namun botoh tetap saja hadir dalam setiap ajang pilkades.
Kepolisian Resort (Polres) Bojonegoro pun sudah membentuk Satgas Anti Judi Pilkades pada Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak gelombang III tahun 2020. Tentu Satgas ini bertujuan untuk mengantisipasi agar tidak terjadi perjudian yang sudah lazim terjadi pada event Pilkades dimanapun.
Meki tidak ada pasal khusus dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang perjudian pilkades tetapi terdapat pasal 303 yang bisa dijadikan dasar untuk menjerat pelaku perjudian. Ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara.
Selamat Berpesta! Semoga mendapatkan pemimpin yang amanah untuk membangun desa.
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko