Sudah jamak di seluruh dunia, sebagai tanda duka sebuah negara ditunjukan dengan pengibaran bendera setengah tiang. Pun di Indonesia, sebagai duka atas meninggalnya para jenderal di tahun 1965. Bendera merah putih itu harus diturunkan setengah tiang.
Saat ini utamanya setelah beberapa tahun paska tumbangnya Orde Baru, pengibaran bendera setengah tiang sudah tidak seheboh saat itu. Sebenarnya di awal –awal orde reformasi, sebagai penanda tumbangnya Soeharto, masih terasa kehebohan itu, tetapi tidak tahu mulai kapan kehebohan itu mulai menurun.
Peristiwa Gerakan 30 September digambarkan dalam film berjudul “Penghianatan G30S PKI”. Film dengan sutradara Arifin C Noer berdurasi 271 menit ini viral pada zamannya, utamanya pada generasi 80 – 90 an. Pasalnya pemerintah “memaksa” seluruh bangsa ini melihat film itu, kalau tidak mau menonton, bisa dicap sebagai kelompok kiri. Karena pada saat orde baru, kalau sudah diberi label “PKI” maka kehidupanya akan susah hingga anak turunya.
Orde reformasi membuka kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menceritakan peristiwa tersebut, karena pada orde baru cerita soal PKI terus-menerus jadi topik bahasan pemerintah hanya dengan versi pemerintah. Munculah tulisan-tulisan, buku-buku yang menyajikan kisah Gestok-begitu- Soekarno menyebut peristiwa yang terjadi dini hari itu. Tentu dari prespektif yang berbeda, khususnya dari mantan tahanan politik PKI atau dari keturunan PKI. Sebut saja buku dari Ribka Tjiptaning —kini anggota DPR RI– berjudul “Aku Bangga Jadi Anak PKI”.
Upaya membangun kembali “kehebohan” soal G30S PKI sebenarnya juga dilakukan pemerintah Joko Widodo pada periode pertama kekuasaanya, saat Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) dijabat oleh Jendral Gatot Nurmantyo. Namun rupanya tidak mampu mengembalikan keriuhrendahan seperti pada era orde baru.
Bisa jadi masyarakat sudah bosan, karena memang saat orde baru, menyaksikan film G30S PKI sudah menjadi acara tahunan. Atau masyarakat sudah terlalu sibuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Atau masyarakat sudah “move on” soal PKI ini, dan lebih fokus menata masa depan untuk anak-anak mereka.
Soal sejarah kekejaman partai yang berasal dari Rusia ini, banyak bahkan sangat banyak tulisan yang membahas soal itu. Bahwa PKI ini sudah menjadi bagian sejarah panjang Bangsa Indonesia ini bahkan sejak zaman kolonial Belanda, tentu ada kontribusi positif yang diberikan pada bangsa ini untuk kemerdekaan.
Namun semua itu seolah hilang dari sejarah bangsa ketika orde baru. Tap MPRS memberangus seluruh hal yang ada kaitnya dengan PKI bahkan sampai untuk berfikir soal ideologi komunispun pun dilarang.
Namun juga harus dilihat bahwa pasca kemerdekaan memang PKI lebih memilih berperang untuk meraih kekuasaan politiknya, Pemberontakan Madiun 1948 salah satunya. Dan ini sebenarnya juga dilakukan oleh kelompok lain yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan Soekarno saat itu. Pemberontakan DI/TII, Pemberontakan Permesta contohnya.
Bangunan kisah kekejaman PKI menjadi semakin kuat pada masa orde baru. Kekejaman anggota PKI terhadap para tokoh agama khususnya di kalangan Nahdhotul Ulama (NU), diceritakan dengan sangat sadis. Kyai yang digorok lehernya, Kitab Suci yang diinjak-injak dan dibakar, musholla yang dilempari dengan kotoran, kegiatan keagamaan yang diganggu dan masih banyak cerita yang mengerikan lainya dan terjadi hampir di seluruh wilayah Jawa . Dan puncaknya adalah pembunuhan para jenderal, hingga muncul ideom “darah itu merah jenderal” untuk menggambarkan kejamnya penyiksaan yang dilakukan oleh anggota PKI kepada para jenderal.
Dan tahun 2020 ini, dunia sedang menghadapi virus yang mematikan, hingga 30 September 2020, sudah lebih dari 1 juta orang meninggal di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri sudah 10 ribu nyawa lebih melayang dan belum ada tanda-tanda jumlahnya akan menurun.
Tentu ini juga duka bangsa, pengibaran bendera setengah tiang bisa menjadi tanda untuk selalu waspada agar tidak tertular virus corona. Bersamaan sebagai peringatan untuk menghormati luka bangsa atas tewasnya para Jendral pahlawan bangsa.
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko