Banjir tidak hanya mendera Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, yang belakangan ini isunya jadi liar dan viral. Nun jauh di sana, di Kota Bojonegoro, Jawa Timur, banjir masih menjadi masalah yang terus dibenahi.
Hujan yang turun bulan Februari 2020 di Bojonegoro ini, intensitasnya memang tinggi. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geogisika (BMKG), tak hanya di Bojonegoro, tetapi mendera di kota-kota di Jawa Timur dan provinsi lainnya. Kita patut memberi apresiasi badan ini, yang tak henti-hentinya menyiarkan peringatan dini—soal prakiraan cuaca, tiga hingga lima hari.
Yang kita alami, tak hanya turun hujan, tetapi juga angin kencang. Dalam catatan harian, jika dirata-rata hampir dua hari sekali, terjadi turun hujan. Dan dampaknya, beberapa daerah di beberapa kecamatan tergenang banjir dan lumpur. Terutama di Bojonegoro bagian selatan. Seperti di Kecamatan Gondang, Temayang, dan lainnya.
Tetapi, yang kini tengah jadi perbincangan publik adalah, tiap turun hujan deras, terutama di Kecamatan Kota Bojonegoro terjadi banjir. Sejumlah jalan protokol di kota ini, tergenang banjir. Seperti di Jalan Gajah Mada, Jalan Untung suropati, Jalan Pemuda, Jalan Teuku Umar, Jalan Panglima Sudirman dan lain.
Berikutnya setiap hujan deras pula beredar di media social, grup whatsapp, grup Facebook, dan yang lain. Produk video maupun foto kondisi jalan yang sedang terendam air, tentu dengan perbagai komentar. Kadang nyinyir, hiperbola dan sarkas. “Banjir Gaess..jalan Panglima Sudirman” begitu suara dalam video yang beredar. Atau di grup facebook “trotoar dibangun, koq malah banjir..”Begitu komentar salah seorang warga net. Atau “Dudu banjir gaess, tapi banyu mili” kata warga di video yang lain.
Kata banjir dan genangan menjadi salah satu yang ramai diperbincangkan. “Di Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia (KUBI) sudah jelas bahwa yang terjadi di Kota Bojonegoro adalah banjir. Wong daratannya terbenam karena volume air yang meningkat.” kata warga net lainya. “Genangan wong tidak lebih dari 24 jam sudah surut koq,” kata yang lain menimpali.
Soal pilihan kata, banjir atau genangan tergantung dari sudut mana melihatnya. Misalnya soal definisi genangan jika mengacu pada Petunjuk Teknis Standart Pelayanan Minimal Pekerjaan Umum dan Tata Ruang yang merupakan lampiran dari Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 1/PRT/M/2014. Yaitu, genangan adalah terendamnya suatu kawasan perkotaan lebih dari 30 centimeter selama lebih dari dua jam. Dengan mengacu pada definisi ini bisa juga peristiwa di Kota Bojonegoro disebut sebagai genangan.
Terlepas apa sebutan untuk peristiwa tersebut, yang terpenting adalah bagaimana menyelesaikan permasalahan tersebut. Tujuannya agar ketidaknyamanan masyarakat saat menyusuri kota minyak ini tidak tergangu terlalu lama.
Tentu menjadi sah, warga mengeluhkan ketidaknyamanan yang dialami. Karena mereka adalah pembayar pajak yang membiayai operasional pemerintahan ini. Sebagai Tuan Negeri ini, mereka tidak peduli bagaimana cara menyelesaikan, berapa biaya yang harus dikeluarkan. Mereka juga tidak perlu pusing menghitung berapa besaran penampang saluran air atau drainase yang harus dibangun agar air bisa segera surut. Atau harus menghitung dengan rumus manning agar dapat diketahui kecepatan rata-rata air. Mereka juga tidak perlu retorika dengan nalar ilmiah yang menjelaskan mengapa sampai terjadi seperti itu. Yang dibutuhkan oleh masyarakat, ketika hujan deras air tidak menggenang terlalu tinggi dan cepat surut.
Sebaliknya, pemerintah sendiri tidak perlu baper (terbawa perasaan) atas sikap warga masyarakat. Sebab peristiwa seperti ini sudah lama terjadi, bahwa ada pembangunan yang tidak selesai itu sudah wilayah teknis. Karena pimpinan hanya pada wilayah kebijakan, dan komitmen melaksanakan. Buktinya ya pembangunan trotoar dan drainase tersebut. Jokowi tidak perlu memberikan penjelasan soal banjir ibu kota. Cukup Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang menjelaskan karena sudah menjadi wilayah teknis.
Komuikasi pemerintah semestinya dibangun dengan baik, agar tidak semakin membuat masyarakat marah. Bentuk pembelaan dengan menyebut banjir dengan air lewat, salah satu contohnya seperti yang disampaikan oleh Kepala Dinas PU Sumber Daya Air Ir. Tedjo Sukmono dalam acara sambang deso di Kecamatan Kota Bojonegoro, 27-2-2020. Akan lebih elegant dan menenangkan jika Kepala dinas, memulai dengan meminta maaf atas ketidaknyamanan, dan menyampaikan langkah teknis menyelesaikan masalah tersebut. Dan tentu ditunjukan dengan turun langsung ke lapangan menyelesaikan.
Soal pembangunan yang tidak selesai, tidak perlu panjang lebar menjelaskan kepada masyarakat, karena mereka tidak membutuhkan itu. Cukup disampaikan rencana menyelesaikan proyek yang tidak selesai pada tahun lalu.
Kebesaran hati pemimpin sudah dicontohkan oleh Bupati Anna Muawanah dengan meminta maaf atas tidak selesaianya proyek peningkatan jalan di Nglinggo, dan dilanjutkan langkah taktis mengurangi resiko kecelakaan. Semestinya ini bisa dilaksanakan secara konsisten dan ditiru oleh bawahanya. Paling tidak upaya itu dapat menenangkan hati masyarakat.
Pejabat publik juga tentu mau berbesar hati memberi ruang dialog. Tujuannya sederhana, terjalin komunikasi pejabat dan masyarakat.
Hujan itu peristiwa alam. Dan banjir atau genangan, adalah rangkaian dari peristiwa alam tersebut. Yang jika itu terjadi, para pemangku kepentingan, tentu harus ada komitmen dan kemauan menanganinya. Berkomitmen menanggulangi dan memberi rasa nyaman bagi masyarakat terdampak.
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko