“ngenteni nek wis ga dadi bupati ae (Menunggu kalau sudah tidak jadi Bupati saja)” ini adalah kalimat yang kerap kali muncul di warung-warung dan grup-grup whatsapp. Pernyataan ini menggambarkan begitu kuatnya pengaruh Anna Mu’awanah saat menjadi Bupati Bojonegoro. Pernyataan ini juga menyiratkan ketakutan untuk berurusan dengan Anna Mu’awanah ketika masih menjadi Bupati Bojonegoro.
Ya, Anna Mu’awanah adalah fenomena di Bojonegoro, musababnya dia adalah perempuan pertama yang menjabat sebagai Bupati Bojonegoro, dan dia mampu mengendalikan kekuasaan dengan sangat efektif sehingga apa pun yang dikehendakinya dapat dijalankan.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bojonegoro yang mendapat amanah dari Undang-undang untuk menjadi penyeimbang, pengawas atas kekuasaan Bupati, tak mampu mengimbangi kekuatan Anna Mu’awanah.
Bahkan untuk program yang jelas-jelas tidak ada manfaatnya untuk masyarakat Bojonegoro pun, tak mampu digagalkan. Sebut saja Bantuan Kepada Pemerintah Kabupaten Blora, sebesar Rp. 34 miliar, atau untuk Kabupaten Sumedang sebesar Rp. 1 miliar.
Pun gerakan-gerakan yang biasa disebut extra parlementer, tak terdengar bergerak selama kepemimpinan Anna Mu’awanah. Gerakan Mahasiswa yang biasanya rajin melakukan unjuk rasa untuk mengkritisi kebijakan pemerintah, seolah kaki, tangan dan mulutnya terikat meski ada kebijakan yang tak sejalan dengan nurani.
Setali tiga uang para pakar dari pendidikan tinggi yang ada di Bojonegoro pun, tak pernah terdengar suaranya untuk memberikan “nasihat” kepada penguasa saat ada kebijakan yang tidak memihak kepada masyarakat Bojonegoro.
Lembaga-lembaga non pemerintah yang secara moral mempunyai tugas mengawasi kebijakan pemerintah pun senyap. Media massa yang punya tugas kontrol kepada penguasa pun, tak banyak yang mampu menggoreskan penanya untuk menyampaikan kekurangan dan kesalahan kepemimpinan Anna Mu’awanah.