Surat dari Redaksi
Dahsyatnya Politik Uang di Pilkades

oleh -
oleh
(Politik Uang dalam Pilkades. Editor : Syafik)

Sebanyak 630 calon kepala desa ditetapkan oleh Panitia Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Mereka akan mengikuti Pilkades Serentak Gelombang III tahun 2020 yang digelar Rabu 19 Februari 2020.

Pembicaraan soal Pilkades menjadi topik yang hangat di warung-warung kopi di kabupaten ini. Topiknya bermacam ragam. Mulai dari peta politik di desa, peluang dari para calon untuk memenangkan, hingga yang dilakukan para calon untuk menarik hati para pemilih. Tentu saja ini kaitannya dengan “harga” per suara di masing-masing desa.

Dalam dunia perpolitikan di desa, pemetaan pemilih lebih detil by name by address atau dalam bahasa Jawa “gampang dititeni”. Dalam waktu satu minggu sebelum pemilihan, para pemilih sudah “mapan” artinya sudah mempunyai pilihan atau beberapa dalam posisi massa “mengambang” masih ragu menentukan pilihan. Niteni pemilih ini menjadi penting dalam rangka menentukan target sasaran “bom” atau “uang ganti kerja” atau “uang transport” atau istilah yang lain. Disinlih dahsyatnya uang dalam menentukan siapa yang akan jadi pemimpin di sebuah desa dalam enam tahun ke depan.

Nilainya juga bervariasi mulai Rp. 50 ribu hingga ratusan ribu rupiah, bahkan bisa sampai senilai Rp. 1 juta per suara. Sesuai dengan kondisi psikologis masyarakat, jumlah pemilih, performance (bahasa jawane potongane) calon atau tingkat elektabilitas lah kalau bahasa marketing politik, berikutnya adalah kekayaan desa atau sekarang diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBdes). Dan tentu saja nilai uang dari calon yang lain.

Baca Juga :   Ujian Tulis Bakal Calon Kades Dilaksanakan 5 Februari 2020

Pada Pilkades Serentak Gelombang II tahun 2018 lalu, di sebuah desa di Kecamatan Sugihwaras, seorang calon yang menang harus mengeluarkan uang Rp. 800 ribu per suara. Untuk memenangkan pilkades calon tersebut harus “membeli” 500 an suara, dengan hak pilih kurang dari seribu pemilih.  Jadi calon tersebut harus mengeluarkan Rp. 400 juta hanya untuk “membeli” suara. Tentu saja ini belum lagi biaya sosialisasi dan “bukak lawang” (istilah untuk menerima para tamu di rumah jelang pilkades). Bisa jadi calon tersebut bisa menghabiskan duit Rp 1 miliar. Buanyak sekali kan?

Politik uang ini memang dilarang, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maupun dalam Undang-undang Desa, Perda tentang kepala desa. Namun seringkali hal ini tidak dapat dibuktikan secara hukum. Ini terbukti belum ada calon kepala desa yang menang diputus pengadilan karena menggunakan politik uang.

Dalam KUHP diatur dalam pasal 149, pada ayat 1 disebutkan, barangsiapa pada waktu pemilihan yang diadakan menurut undang-undang umum, dengan pemberian atau perjanjian memberi suap kepada seseorang supaya ia tidak melakukan haknya memilih, atau atau supaya ia menjalankan hak itu dengan jalan yang tertentu, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500. Sedang ayat 2 berbunyi  Hukuman itu juga dijatuhkan kepada si pemilih, yang menerima suap atau perjanjian akan berbuat sesuatu.

Sementara itu dalam Peraturan Daerah (Perda) Bojonegoro Nomor 13 tahun 2015 tentang Kepala Desa larangan memberikan uang hanya disebutkan dalam pasal 35 tentang larangan menjanjikan atau memberikan uang kepada peserta kampanye. Sementara sanksi yang diberikan sesuai dengan pasal  77 ayat 2 yakni dengan teguran lisan, tertulis, penghentian kampanye atau sanksi administratif lain. Tentu rujukannya sesuai peraturan perundang-undangan.

Baca Juga :   Surat Redaksi Botoh dan Pilkades

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Muhsinin dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang tahun 2018 tentang Politik uang ini menemukan bahwa  berbagai pendapat masyarakat yang tidak mempermasalahkan tentang Politik Uang, menyebabkan mayoritas calon pemimpin Kepala Desa pun semakin ketat dalam bersaing untuk memberikan uang ataupun barang kepada calon pemilih.

Semakin banyak memberikan uang ataupun barang dan menariknya janji-janji yang disampaikan maka akan semakin besar pula peluang memperoleh kemenangan dalam pemilihan Kepala Desa.  Dan kenyataan juga banyak calon pemimpin yang membeli suara dengan uang yang akhirnya menang dalam pemilihan.

Beberapa dampak negatif dari politik uang menurut Schaffer, 2007, sebagai berikut:

  1. Terjadinya ketidakadilan risiko dari politik uang menyebabkan terpilihnya orang yang tidak semestinya dan membatasi persaingan.
  2. Terjadinya ketidakmerataan peluang jabatan kepada segenap penduduk dan risiko didapatkan perwakilan yang berkualitas.
  3. Politisi yang dibiayai oleh donatur akan terpengaruhi oleh kepentingan para penyumbang dan akan senantiasa dikontrol oleh mereka yang membiayai.
  4. Terjadinya risiko bahwa uang kotor atau haram akan merusak sistem dan merusak aturan hukum.

Meski jelas melanggar aturan dan berdampak buruk tetapi politik uang masih menjadi senjata ampuh untuk “memaksa” pemilih agar memenangi Pilkades.  Begitulah Dahsyatnya Politik Uang dalam Pilkades.

Penulis : Syafik

Editor : Sujatmiko

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *