“Bapak Kapan Sekolah Masuk lagi” Pertanyaan itu disampaikan Ersya siswa SMP salah satu sekolah di Pondok Pesantren di Kabupaten Tuban Jawa Timur. Sejak pertengahan Maret 2020, Ersya harus belajar di rumah karena pandemi corona virus disease (Covid-19) melanda Indonesia termasuk di Wilayah Kapaten Tuban.
Pertanyaan Ersya bisa jadi juga ditanyakan oleh para siswa, santri di seluruh Indonesia karena hingga akhir Mei 2020 belum juga ada kejelasan waktu masuk sekolah dan kembali ke pondok pesantren. Bahkan setelah kebijakan New Normal yang diluncurkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, belum juga ada kejelasan bagaimana dan kapan sekolah akan lagi dibuka.
Kenyataan bahwa terlalu lama di rumah dan harus belajar di rumah bukan sesuatu yang menyenangkan untuk para siswa. Setidaknya Ini bisa dilihat dari survey yang sudah dilakukan oleh Student Reseach Center Pengurus Wilayah Ikatan Pelajar Nahdhtul Ulama (IPNU) Jawa Timur, 81,46 persen para pelajar tidak setuju jika belajar dengan sistem daring atau belajar dari rumah lebih menyenangkan daripada belajar di sekolah. Atau bisa disebutkan belajar di rumah tidak menyengkan dan 95,42 persen menyatakan belajar di sekolah dengan bertatap muka dengan guru lebih efektif dari belajar di rumah. Hasil lain yang harus menjadi pertimbangan para pemegang kebijakan pendidikan di negeri ini adalah 88,75 persen pelajar merasa stres karena lama belajar dari rumah.
Ustadz Rolly Abdul Rahman seorang guru dan penulis buku pendidikan dari Bojonegoro menyatakan, belajar di rumah menjadi kendala tersendiri bagi pendidikan di Indonesia. Salah satunya karena tidak semua guru dan peserta didik dapat melakukan penyesuaian dengan pola baru yang berbasis pada penerapan teknologi informasi digital.
Dampak yang lan adalah tergerusnya spirit dan niat baik menjalani proses pembelajaran. Pasalanya seringkali guru dengan peserta didik kucing-kucingan, dikasih tugas mestinya dikerjakan mandiri tapi dikerjakan bersama atau malah menyontek jawaban teman. Itupun penyetorannya molor dan tidak sesuai dengan standart yang telah disepakati.
Berikutnya menurut Guru di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Bojonegoro ini, metode pembelajaran daring tidak memungkinkan tatap muka secara langsung antara siswa dengan guru. Hal ini tentu saja mengakibatkan adanya miskomunikasi. Dampaknya adalah dari sisi perkembangan intelektualitas peserta didik akan terhambat.
Hal negatif lain dari pemberjaran jarak jauh adalah perkembangan emosi peserta didik juga mengalami penyumbatan karena banyak keinginan yang tidak dipenuhi orang tuanya dan tidak bisa dikonsultasikan secara langsung dengan para guru. Sementara banyak orang tua yang sibuk mencari nafkah hidup dan kurang punya pemahanan tentang cara mendidik anak.
Demikian juga pada dimensi spiritualitas mengalami stagnasi. Karena tidak semua orang tua memiliki pemahaman bagaiamana cara membimbing anaknya. Pada saat sedang berkumpul bersama keluarga, mestinya dari aspek emosi dan spiritual dapat mengalami peningkatan. Namun karena sibuknya orang sekarang yang terjadi malah sebaliknya, anak mengalami beban emosi dan kedangkalan spiritual.
Kondisi ini amat berbahaya bagi masa depan peserta didik. Mereka akan terjebak pada budaya hedonis dan sekuler dan mulai familiar dengan gaya hidup ‘Sing Penting Enak’. Seperti yang dinikmati kaum rebahan, tanpa harus melihat bagaimana proses yang harus dijalani dengan perjuangan gigih dan pengorbanan jiwa raganya.
Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama hingga saat ini belum juga mampu menyediakan metode pembelajaran jarak jauh yang memadai. Yaitu menghindarkan para peserta didik agar terhindar dari hal-hal negatif dalam proses pembelajaran di rumah tersebut.
Kebijakan yang dikeluarkan dari kedua kementerian melalui surat edaran atau surat keputusan menteri tidak mampu menjawab kekhawatiran orang tua dan dunia pendidikan. Seringkali hanya menyampaikan bahwa pembelajaran dilaksanakan dengan sistem daring, atau pembelajaran tidak perlu mengejar target kurikulum atau perintah kepada guru untuk mencari inovasi pembelajaran sendiri.
Memang kondisi saat ini sangat sulit untuk seluruh sendi kehidupan manusia. Akan tetapi dalam proses penyelamatan generasi penerus bangsa ini, pelulah kiranya para pakar pendidikan bersama –sama pemerintah untuk mencari solusi terbaik bagi pendidikan pada masa new normal ini.
Hingga akhir Mei 2020, wacana yang muncul hanya soal waktu pelaksaan tahun ajaran baru, Penerimaan Peserta Didik Baru, waktu kembali kesekolah. Setidaknya ini yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim di depan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Kenyataan bahwa new normal di Indonesia belum memungkinkan untuk kembali ke sekolah, harusnya diterima dan selanjutnya menyusun metode pembelajaran yang baru. Harapannya tentu yang mampu menjawab tantangan pembelajaran dengan sistem jarak jauh. Termasuk menyiapkan para guru, siswa dan orang tua untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan metode yang disediakan tersebut.
Hampir semua lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang pendidikan dan organisasi profesi guru , mengingatkan pemerintah untuk tidak memaksakan kembali ke sekolah, sebelum pandemi covid-19 ini benar-benar dapat dikendalikan. Alasanya tentu untuk menyelamatkan para siswa agar terhindar dari virus yang menyerang saluran pernafasan ini.
Begitu juga dengan Organisasi Keagamaan, Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, semua satu suara untuk benar-benar memikirkan dan membuka kembali sekolah jika virus yang sudah merenggut nyawa ratusan ribu penduduk Indonesia ini dapat dikendalikan. Atau jika dipaksakan untuk tetap membuka, pemerintah harus bertanggung jawab penuh untuk menyediakan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai untuk mencegah penularan virus ini.
Jadi pertanyaan Ersya “ Bapak Kapan Sekolah Masuk (lagi)?” tidak ada yang bisa menjawab bahkan Menteri yang bertanggung jawab terhadap pendidikan di Indonesia sekalipun apalagi bapaknya.
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko