Cinta yang Terlalu Dalam pada Migas
Kabupaten Bojonegoro ibarat seseorang yang sedang jatuh cinta—terlalu dalam dan terlalu setia—pada satu pasangan: minyak dan gas bumi. Cinta itu memang memberi banyak, tapi juga menciptakan ketergantungan. Struktur dana transfer dari pusat pada tahun 2018 – 2024 memperlihatkan relasi yang tidak seimbang: ketika DBH Migas jadi pusat perhatian, sementara DAU dan DAK hanya jadi pelengkap cerita.
DBH Migas: Kekasih Kaya yang Tak Bisa Diandalkan
Dana Bagi Hasil Migas adalah pasangan yang dermawan, tapi emosinya naik-turun. Tahun 2023, DBH Migas memberi Rp2,47 triliun, membuat Bojonegoro tampak kaya dan percaya diri. Tapi di 2024, hubungan itu mulai renggang. DBH Migas turun drastis 19%, hanya menyisakan Rp1,99 triliun.
Seperti hubungan yang bergantung pada suasana hati, DBH Migas juga sangat terpengaruh harga global dan produksi nasional. Bojonegoro terlalu cinta pada sumber ini, hingga ketika nilainya menyusut, anggaran pun ikut guncang.
Sementara itu, sumber dana lain seperti kehutanan dan perikanan hanya memberi kurang dari 1%—ibarat teman lama yang selalu diabaikan, tapi masih tetap ada.
DAU: Pasangan Setia yang Tak Pernah Cukup
Di sisi lain, Dana Alokasi Umum (DAU) adalah pasangan yang setia. Ia datang setiap tahun, konsisten memberi antara Rp870 hingga Rp975 miliar. Saat masa-masa sulit seperti pandemi COVID-19 pada 2020, DAU hadir sebagai penopang utama.
Namun cinta itu tidak berkembang. Dari tahun ke tahun, porsinya dalam total dana transfer makin tergerus—dari 27,68% (2019) menjadi 23,94% (2024). DAU seperti nasi bungkus setiap pagi—cukup mengenyangkan, tapi tak pernah membahagiakan sepenuhnya.
Bojonegoro mengandalkannya, tapi tak pernah bisa membangun masa depan hanya dari DAU.
DAK: Cinta yang Makin Kurus dan Tak Maksimal
Dana Alokasi Khusus (DAK) seharusnya menjadi perhatian tambahan—bukan utama, tapi sangat penting. Sayangnya, hubungan ini justru makin renggang.
DAK Fisik untuk infrastruktur menyusut drastis dari Rp90 miliar (2019) menjadi hanya Rp9,9 miliar (2024). DAK Non-Fisik seperti BOS dan tunjangan guru masih berjalan, tapi banyak yang tak terserap dengan baik. Di sektor kesehatan, hanya 64,9% anggaran yang terealisasi.
Seperti hubungan jarak jauh yang penuh harapan tapi sering mengecewakan, DAK di Bojonegoro tak kunjung memberikan manfaat optimal.
Struktur yang Timpang, Cinta yang Tak Setara
Struktur dana transfer Bojonegoro saat ini adalah kisah cinta yang timpang: terlalu berharap pada satu, dan mengabaikan yang lain. Ketika DBH Migas memberi lebih dari 50%, dan DAU serta DAK makin melempem, maka keseimbangan keuangan pun terganggu.
Lebih ironis lagi, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bojonegoro tetap lemah, hanya berkontribusi sekitar 8–10%. Dalam hubungan asmara, ini seperti seseorang yang tidak punya penghasilan tetap, hanya hidup dari transfer pasangan yang tak menentu.
Apakah Bojonegoro Siap untuk Hubungan yang Lebih Sehat?
Pertanyaan besar untuk Bojonegoro adalah: mau sampai kapan bergantung pada satu sumber cinta yang fluktuatif? Struktur dana transfer ini menunjukkan bahwa ketergantungan jangka panjang akan menciptakan rapuhnya fondasi fiskal.
Sudah saatnya Bojonegoro membuka ruang untuk “pasangan baru”—menumbuhkan PAD dari sektor produktif, memaksimalkan DAK, dan memperbaiki penyerapan anggaran. Cinta yang sehat adalah cinta yang seimbang: bukan hanya soal besaran, tapi juga soal daya tahan.
Penulis ; Syafik
Sumber data : Catatan akhir Laporan Keuangan (CaLK) Kabupaten Bojonegoro, bpkad.id