Strategi Bojonegoro Melawan Kemiskinan 2025: Dari Anggaran hingga Aksi

oleh 109 Dilihat
oleh
kemiskinan
(ilustrasi by chatgpt.com)

damarinfo.com – Kabupaten Bojonegoro membidik ambisi besar di tahun 2025: menurunkan angka kemiskinan dari 11,69% (147.330 jiwa) menjadi 10,37%. Artinya, setidaknya ada 17.000 jiwa yang harus “naik kelas” dari garis kemiskinan hanya dalam satu tahun anggaran.

Target ini bukan tanpa dasar. Bojonegoro saat ini menempati peringkat ke-11 kabupaten termiskin di Jawa Timur dari total 38 kabupaten/kota. Sebuah posisi yang mengingatkan kita bahwa kemiskinan masih menjadi bayang-bayang serius di tengah geliat anggaran besar.

Dalam dokumen KUA-PPAS Perubahan Tahun 2025, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro mengalokasikan Rp855,48 miliar untuk mendukung berbagai program lintas sektor yang berkaitan dengan pengurangan kemiskinan.

Dari jumlah itu, sekitar Rp330,6 miliar terhitung sebagai alokasi yang benar-benar menyasar pengentasan kemiskinan ekstrem, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semua itu berasal dari total APBD Perubahan sebesar Rp7,68 triliun — menjadikan Bojonegoro sebagai daerah dengan APBD terbesar kedua di Jawa Timur, hanya kalah dari Kota Surabaya.

Rp855 Miliar untuk Kemiskinan: Banyak Dana, Banyak Jalur

Dari total anggaran tersebut:

  • Rp194 miliar dikategorikan sebagai intervensi langsung,

  • Rp128 miliar sebagai intervensi tidak langsung, dan

  • Rp7,7 miliar sebagai program penunjang.

Namun seperti halnya air yang mengalir ke banyak cabang, tidak semua belanja ini benar-benar menyentuh kehidupan warga miskin secara nyata. Tantangannya terletak pada arah dan sinergi antar-OPD yang mengelola.

Pendidikan dan Kesehatan: Dua Gajah di Lini Depan

Dua OPD terbesar dalam hal alokasi adalah Dinas Pendidikan (Rp110 miliar) dan Dinas Kesehatan (Rp115 miliar).

  • Di sektor pendidikan, anggaran lebih banyak dialokasikan untuk BOS, pembangunan sekolah, dan perlengkapan siswa.

  • Di sektor kesehatan, anggaran dikucurkan ke layanan ibu-anak, balita, imunisasi, gizi masyarakat, dan jaminan kesehatan bagi keluarga tidak mampu.

Baca Juga :   Surat Redaksi Petani dan Kemiskinan di Bojonegoro

Dampaknya jelas: pendidikan dan kesehatan adalah fondasi jangka panjang untuk menghindari kemiskinan antar-generasi. Namun, untuk menurunkan angka kemiskinan dalam waktu singkat, dibutuhkan intervensi yang langsung menyasar pendapatan dan daya beli rumah tangga.

Bantuan Sosial, RTLH, dan Ayam Petelur

Di sinilah peran Dinas Sosial menjadi krusial. Dengan alokasi Rp53,7 miliar, program bantuan kesejahteraan keluarga dan pengembangan ekonomi masyarakat menyasar lebih dari 60.000 penerima. Program ini bersifat langsung: menambah penghasilan atau menjaga konsumsi rumah tangga.

Tak kalah penting, Dinas Cipta Karya menggelontorkan Rp14,3 miliar untuk merehabilitasi 550 rumah tidak layak huni (RTLH). Sementara Dinas PU SDA mengarahkan Rp19,1 miliar untuk irigasi dan embung yang menopang produktivitas petani.

Yang cukup unik adalah program Gerakan Ayam Petelur Mandiri (Gayatri) yang bersumber dari 10% Dana Desa. Dengan total Rp43,9 miliar, Gayatri menyasar 419 desa di 28 kecamatan. Ia menjadi simbol bahwa desa pun ingin ikut bertarung mengangkat warganya dari jurang ekonomi dengan cara yang sederhana tapi berdaya.

Petani, UMKM, dan Buruh Harian: Potensi yang Masih Dikecilkan

Ironisnya, sektor yang justru dihuni mayoritas warga miskin—seperti pertanian, peternakan, nelayan, UMKM, dan tenaga kerja informal—justru mendapat alokasi yang relatif kecil.

  • Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan hanya mendapat Rp8,5 miliar,

  • Dinas Peternakan dan Perikanan lebih kecil lagi: Rp874 juta.

Padahal di sinilah akar dari penghasilan rumah tangga miskin. Tanpa pelatihan, insentif, dan dukungan usaha yang nyata, mereka tetap bertahan di roda penghasilan rendah, rawan sakit, dan rentan gagal panen.

Baca Juga :   Surat Redaksi Bojonegoro yang Tak Kunjung Bebas dari Kemiskinan, Meski APBD nya sudah Jumbo.

Transportasi, Kependudukan, dan Bencana: Pilar Tak Terlihat

Beberapa OPD tampak kecil anggarannya, tapi memainkan peran penting:

  • Dinas Perhubungan mengoperasikan angkutan pelajar gratis,

  • Disdukcapil menjamin warga miskin punya KTP dan KK,

  • BPBD menangani korban bencana agar tak jatuh miskin pasca-krisis.

Mereka bukan pemberi bantuan, tapi penyelamat sistem. Tanpa mereka, warga miskin bisa kehilangan akses ke pendidikan, bantuan sosial, atau bahkan perlindungan hak hidup dasar.

Arah Sudah Benar, Tapi Masih Perlu Keberanian Menyatukan Gerakan

Bojonegoro tak kekurangan niat atau anggaran. Tapi seperti membangun rumah, banyaknya tukang bukan jaminan hasilnya berdiri kokoh—jika tak ada arsitek yang menyatukan arah.

Belanja besar tanpa orkestrasi hanya akan menghasilkan data pengeluaran, bukan perubahan sosial. Tantangannya kini bukan lagi sekadar “berapa besar” anggaran, tapi “seberapa terarah” langkah dan kolaborasinya.

Menepati Janji pada Warga Miskin

Strategi pengentasan kemiskinan adalah janji. Janji negara kepada mereka yang paling rentan untuk tidak dibiarkan sendiri di tengah pusaran ekonomi yang makin tak pasti.

Bojonegoro sudah menyusun peta jalan. Tapi peta tak berguna bila tak dilalui. Sekarang waktunya menjadikan angka-angka itu nyata—di meja makan warga, di dompet ibu rumah tangga, di masa depan anak-anak yang ingin tetap sekolah tanpa khawatir ongkos.

Jika Rp330 miliar tidak bisa mengangkat 17 ribu jiwa keluar dari kemiskinan, maka masalahnya bukan pada jumlah uang. Tapi pada keberanian kita semua—untuk membuat program menyentuh, menyatu, dan menyala.

Karena kemiskinan bukan sekadar statistik. Ia adalah cerita harian, dan tugas kitalah mengubah akhirnya.

Penulis : Syafik

Sumber data : Rancangan KUA-PPAS Perubahan Kabupaten Bojonegoro Tahun 2025