damarinfo.com – Ketika membicarakan Perang Jawa (1825-1830), banyak yang langsung mengingat Pangeran Diponegoro sebagai tokoh utama. Namun, di balik perlawanan besar itu, banyak pejuang lain yang turut berjuang dengan gagah berani. Salah satunya adalah Raden Tumenggung Sosro di Logo, sosok yang disegani di wilayah timur, terutama di Rembang dan Radjekwesi (sekarang Bojonegoro), karena kegigihannya melawan Belanda.
Namanya sering muncul dalam laporan koran Belanda seperti Bataviasche Courant dan Javasche Courant. Perjalanannya dalam perlawanan begitu menarik—dari kemenangan besar, perjuangan tanpa henti, hingga akhirnya harus menyerah kepada Belanda.
Pertempuran Sengit di Padangan
Di penghujung tahun 1827, terjadi pertempuran besar di Padangan. Menurut laporan Bataviasche Courant edisi 20 Desember 1827, pasukan Belanda di bawah pimpinan Kolonel Nahuys merasa percaya diri menghadapi 700-800 pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Sosro di Logo. Mereka membawa fusilier Ambon, pasukan Jawa, serta kavaleri Madura.
Namun, kepercayaan diri Belanda terbukti keliru. Pasukan Sosro di Logo melancarkan serangan mendadak, membuat Belanda kehilangan formasi dan akhirnya tumbang. Strategi yang diterapkan sangat cerdas: prajuritnya dipimpin oleh tiga pemimpin yang membawa payung besar serta bendera hitam dan putih. Para kyai berpakaian putih berjalan di depan, membakar semangat para pejuang.
Kesalahan fatal Belanda? Mereka menembak terlalu cepat, membuat pasukan kavaleri mereka panik dan melarikan diri. Akibatnya, pasukan Belanda mengalami kekalahan besar. Kolonel Nahuys sendiri hanya bisa selamat karena kudanya lari kencang!
Sosro di Logo Mulai Terdesak
Setelah kemenangan gemilang di Padangan, keadaan mulai berbalik. Dalam laporan Javasche Courant tanggal 9 Februari 1828, disebutkan bahwa pasukan Belanda di bawah Mayor Jenderal Hoisma mulai bergerak dari selatan. Kapten Schippers tiba di Ngulan, sementara Letnan Satu Laut Schuit bergerak melalui Bowerno. Di mana pun Kapten Schippers muncul, penduduk setempat lebih memilih menyerah tanpa perlawanan.
Di sisi lain, Kapten Van Griesheim melaporkan bahwa Sosro di Logo telah menyeberangi Sungai Solo di kampung Djogorogo. Kapten Van Ingen, bersama 250 prajurit, turut bergabung dalam pengejaran terhadap pemimpin pemberontak ini.
Sementara itu, Mayor Jenderal Hoisma jatuh sakit dan harus meninggalkan Radjekwesi. Kepemimpinan pasukan Belanda pun dialihkan kepada Letnan Kolonel Roest, yang langsung bergerak menuju Rembang pada 14 Februari 1828.
Pertempuran Kaljangan: Sosro di Logo Kalah
Pada 13 Maret 1828, berdasarkan laporan Javasche Courant, pertempuran besar kembali pecah di desa Kaljangan, distrik Ngumpah. Kali ini, pasukan Belanda dipimpin oleh Bupati Radjekwesi, Djoyo Negeoro, dan berhasil mengalahkan pasukan Sosro di Logo.
Hasil pertempuran ini cukup tragis bagi pihak pemberontak. Sebanyak 11 prajurit gugur, 20 lainnya terluka, sementara Sosro di Logo berhasil lolos. Namun, kali ini ia harus kehilangan pengawal setianya, Anjul Krong, yang gugur dalam pertempuran. Lebih dari itu, payung emas, simbol kepemimpinannya, berhasil direbut oleh Belanda.
Pada 22 Maret 1828, pengejaran semakin intensif. Menurut laporan Javasche Courant, Belanda terus memburu Sosro di Logo hingga ke desa Klieno. Namun, saat mereka tiba, desa itu telah dikosongkan dan dibakar oleh pasukan pemberontak. Sosro di Logo terus bergerak, mengandalkan strategi gerilya untuk menghindari pengejaran kolonial.
Akhir Pelarian: Sosro di Logo Menyerah
Pada 1 Mei 1828, laporan Javasche Courant menyebutkan bahwa Belanda menerima informasi bahwa Sosro di Logo telah meninggalkan Madiun dan bergerak ke barat. Keadaan semakin sulit baginya, sementara Belanda mulai mengalihkan perhatian ke wilayah lain yang dianggap lebih strategis.
Namun, pengejaran tetap berlangsung. Hingga akhirnya, pada 11 Oktober 1828, seperti yang dilaporkan Javasche Courant, perjalanan panjang Sosro di Logo harus berakhir. Ia menyerahkan diri kepada Belanda, datang bersama 41 orang pengikutnya, termasuk Raden Mas Moersodo, saudara tiri Sultan Muda.
Bagi pemerintahan kolonial, ini adalah kemenangan besar. Sosro di Logo adalah tokoh yang sangat berpengaruh di wilayah timur, sehingga penangkapannya menjadi pukulan telak bagi perlawanan rakyat.
Perjuangan yang Tak Dilupakan
Meski akhirnya menyerah, perjuangan Sosro di Logo tetap menjadi bagian penting dalam sejarah Perang Jawa. Dari kemenangan gemilang di Padangan, pertempuran sengit di Kaljangan, hingga akhir pelariannya pada Oktober 1828, kisahnya mencerminkan semangat rakyat Nusantara dalam melawan kolonialisme.
Hingga kini, nama Sosro di Logo masih dikenang, terutama oleh masyarakat Bojonegoro. Ia bukan sekadar pemberontak, tetapi simbol perlawanan yang pantang menyerah.
Penulis: Syafik
Sumber: Disadur dari koran berbahasa Belanda pada masa kolonial, diunduh dari laman Delpher.nl dan diterjemahkan menggunakan chat.deepseek.com.