Jawa Timur Melambat di Tengah Kepemimpinan Baru
Tahun 2025 adalah babak baru bagi seluruh daerah di Jawa Timur. Dari Pacitan hingga Banyuwangi, dari Bojonegoro hingga Sumenep, semua kepala daerah—termasuk Gubernur Jawa Timur—baru saja dilantik 20-Februari-2025. Arintya APBD untuk tahun 2025, sudah disahkan sebelum mereka memimpin di daerahnya masing-masing.
Hal ini menyebabkan program-program pembangunan belum bisa dilaksanakan secara maksimal, para kepala daerah ini tampak baru memanaskan mesin.
Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa hingga Juni 2025, rata-rata serapan belanja APBD kabupaten/kota di Jawa Timur hanya 28,32%, dan belanja modal bahkan lebih rendah: 8,50%.
Bandingkan dengan idealnya: di tengah tahun, serapan seharusnya sudah menyentuh minimal 45–50% agar pembangunan tidak menumpuk di akhir tahun.
Provinsi Jawa Timur sendiri, meski sedikit lebih tinggi, juga belum menggembirakan. Serapan belanja mencapai 33,73%, dan belanja modal 8,05%. Artinya, fenomena ini bukan kasus di satu dua daerah saja—ini gejala struktural akibat efek domino dari pergantian kepemimpinan secara serentak.
Apa yang Terjadi? Transisi yang Membeku
Pergantian kepala daerah bukan sekadar ganti orang di kursi eksekutif. Ini juga soal ganti arah, ganti prioritas, bahkan kadang ganti gaya manajemen.
Yang sering terjadi:
-
APBD 2025 disusun oleh bupati/wali kota sebelumnya, sementara yang melaksanakan adalah pejabat baru yang merasa tidak memiliki “jiwa” atas anggaran itu.
-
OPD atau dinas menahan diri: takut salah langkah, menunggu arahan, atau was-was terkena rotasi jabatan.
-
Belanja modal—yang melibatkan dokumen teknis, tender, kontrak—jadi korban utama. Eksekusinya ditunda, atau bahkan belum dimulai.
Bojonegoro dan Kabupaten Tetangga
Di tengah perlambatan ini, Bojonegoro juga melambat, Serapan belanja hanya 21,28%, dan belanja modalnya—yang semestinya jadi bukti pembangunan fisik—hanya 1,33%.
Bandingkan Tetangga: Lamongan, Tuban, Ngawi, Nganjuk
Mari kita tengok tetangga-tetangga Bojonegoro.
-
Lamongan: Serapan belanja 22,21%, hampir setara dengan Bojonegoro, tapi belanja modalnya 35,05%—tertinggi kedua se-Jawa Timur setelah Banyuwangi. Artinya, meski pelan di total, belanja pembangunan fisiknya sangat progresif.
-
Tuban: Serapan belanja 19,48%, bahkan lebih rendah dari Bojonegoro. Tapi belanja modalnya masih 6,40%, lima kali lipat dari Bojonegoro.
-
Ngawi: Serapan belanja 18,49%—terendah di Jawa Timur. Belanja modal? 3,87%, tetap lebih tinggi dari Bojonegoro.
-
Nganjuk: Serapan belanja 29,12% (cukup tinggi), tapi belanja modalnya hanya 2,44%.
Dari sini terlihat jelas: Bojonegoro bukan satu-satunya yang lambat, tapi posisinya rawan karena tingkat belanja modalnya sangat rendah, bahkan dibanding kabupaten dengan PAD jauh lebih kecil.
Jangan Biarkan Anggaran Jadi Angan-angan
Pergantian kepala daerah adalah keniscayaan dalam demokrasi. Tapi ini seharusnya bukan alasan untuk membiarkan mesin pembangunan melambat terlalu lama. Transisi yang baik adalah transisi yang tetap menjaga ritme kerja, bukan mematikannya.
Untuk Bojonegoro KUA-PPAS Perubahan tahun 2025 telah disepakati (26 Juni 2025). Itulah momentum untuk menyinkronkan visi baru dengan realisasi nyata, bukan sekadar mengulang rencana di atas kertas.
Karena di akhir tahun nanti, rakyat tidak menilai seberapa banyak anggaran disimpan. Tapi seberapa besar perubahan yang mereka rasakan.
Penulis : Syafik
Sumber data :Kementerian Keuangan