damarinfo.com – Di pesisir utara Kabupaten Lamongan, tepatnya di Kecamatan Paciran, ada sebuah desa kecil bernama Sendangduwur yang menyimpan kisah besar. Bukan kisah perang atau perdagangan, melainkan legenda tentang cinta, keajaiban, dan lahirnya seni perhiasan emas tradisional Jawa — warisan budaya yang masih hidup hingga kini.
Bukan dari Keraton, Tapi dari Desa
Sejarah seni emas Sendangduwur tidak dimulai dari istana atau pusat kota kolonial, tapi dari seorang pangeran terbuang yang menepi ke tanah Jawa. Ia dikenal sebagai Raden Abdoelkahir, mantan bangsawan Baghdad yang terusir karena kelakuannya, lalu mendarat di wilayah pesisir utara Jawa yang kini dikenal sebagai Sidayu, Gresik.
Di sana, ia menikah dengan Raden Ajoe Toeroeningsih dan memiliki putra bernama Raden Noer. Namun setelah sang ayah meninggal, ibu dan anak itu diculik dan dibawa ke kaki bukit di Desa Sendang — yang kemudian menjadi Sendangduwur.
Raden Noer dan Misi Memindahkan Masjid Kudus
Di desa ini, Raden Noer dibesarkan oleh seorang kiai, Kyai Kakoeng, yang mengajarinya ilmu agama dan kebatinan. Ketika dewasa, ia bertemu Sunan Drajat, yang lalu memberikan misi mustahil: memindahkan rumah ibadah kuno dari Kudus ke Sendang, sendirian dan tanpa bantuan siapa pun.
Melalui perenungan selama 40 hari di Gunung Panerangan, Raden Noer mendapatkan petunjuk gaib: “Ketuk tanah tiga kali di Desa Penandjan.” Saat ia melakukannya, keajaiban pun terjadi — masjid dari Kudus benar-benar berpindah ke Sendang. Ia pun diangkat menjadi Sultan Sendang, dan menikah dengan putri Sultan Giri.
Keajaiban Emas: Saat Cinta Melahirkan Seni
Namun, momen yang paling dikenang dalam legenda Raden Noer bukanlah pemindahan masjid, melainkan saat ia menciptakan emas dari cinta dan kreativitas.
Saat akan menghadiri pesta besar bersama istrinya, Raden Noer menyadari bahwa sang istri tidak memiliki perhiasan kerajaan yang layak. Di tengah keterbatasan waktu, ia mengambil daun tanaman Hoes, membentuknya menjadi anting, gelang, kalung, dan jepit rambut dengan tangan sendiri.
Lalu, ia mengoleskan tanah merah ke setiap perhiasan yang dibuatnya. Dan di sinilah keajaiban terjadi — daun-daun itu berubah menjadi emas murni. Sang istri pun tampil memukau di hadapan para tamu undangan.
Itulah titik awal legenda besar: dari tangan dan cinta Raden Noer, lahirlah seni perhiasan emas pertama di Jawa. Sekembalinya ke Sendangduwur, ia memanggil para pengikut dan mengajarkan cara membuat perhiasan emas itu. Sejak saat itu, desa kecil ini dikenal sebagai pusat kerajinan emas tradisional.
Sendangduwur di Masa Kolonial: Saat Dunia Melihat
Keahlian warga Sendangduwur tak berhenti sebagai cerita rakyat. Pada masa kolonial Belanda, desa ini dikenal luas sebagai penghasil perhiasan emas berkualitas tinggi. Artikel Haagsche Post edisi 13 Januari 1940 bahkan menyebut Sendangduwur sebagai pusat seni emas penting di Hindia Belanda.
Ciri khas perhiasan emas dari desa ini bukan sekadar pada bentuknya yang indah, tetapi juga pada nilai simbolik dan spiritual yang terkandung di dalamnya. Motif-motif seperti:
-
Daun gandjor (tembakau) melambangkan pertumbuhan,
-
Kaloea pakoe (paku muda) berarti kehidupan baru,
-
Kiambang (teratai) sebagai simbol keindahan dari kesederhanaan,
-
Pantja matahari sebagai sinar pencerahan,
-
dan Raboe (bulan sabit) untuk spiritualitas dan keabadian.
Semua diukir dengan teknik tinggi seperti filigree, ciselé, niello, émail, hingga incrustatie, diwariskan dari generasi ke generasi — sering kali dalam lingkup keluarga dan komunitas pesantren.
Seni yang Masih Hidup di Abad 21
Hingga hari ini, Sendangduwur masih mempertahankan identitasnya sebagai desa emas. Beberapa keluarga masih membuat perhiasan dengan teknik kuno, dan motif-motif yang dahulu diciptakan oleh Raden Noer masih dihidupkan.
Meskipun kisah Raden Noer belum bisa diverifikasi secara sejarah akademik, bagi warga desa, cerita itu adalah akar jati diri. Sebuah pengingat bahwa seni sejati bukan hanya soal teknik, tapi juga tentang cinta, keberanian, dan keyakinan terhadap sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Penulis : Syafik
Sumber : Haagsche Post, 13 Januari 1940